Jumat, 22 Mei 2009

Meucheukot Bhah Atjeh

Aceh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Aceh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme, kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi; kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.

Memang benar, sejak tahun 1411, Aceh telah membina hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang museum di Bandar Acheh.
Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Aceh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1400-an.
Kejayaan Aceh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17. Untuk melihat bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata: ‘Pada abad ke-16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra dan Aceh - adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil”.
Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Aceh dalam sejarahnya telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika itu merupakan negara terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke seluruh kepulauan Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE bahwa: “Pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari Tanah Semenanjung Melayu, dan mempunyai hubungan dengan segala bangsa yang melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali dilancarkan oleh bangsa Aceh terhadap bangsa Portugis yang menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Aceh menyerang Portugis di Melaka dengan sebuah Armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”
Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah, mempertahankan kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera maupun di Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan 1629 adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan siapa pemenang dalam perang panjang dan melelahkan itu. Panglima perang Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite tentara Aceh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh Melayu lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah sepenuhnya dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, atau lebih tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini Portugis terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada dalam genggaman tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil mengirim kurirnya untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara Pahang berkomplot dengan Portugis menyerang tentara Acheh melalui laut. Kapal-kapal perang Aceh di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, hingga peperangan ini terjadi satu lawan satu.

Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan Portugis pada waktu itu ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang dan ditakluki oleh Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah Melayu. Portugis bagi Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi saudara Johor, dan sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu Sultan”. Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka Kuala Lumpur.

Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan tentara upahan Portugis dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan kekalahan silih berganti antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis menyebut Gereja Sint de Hill sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa, Melaka pada akhimya takluk kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Aceh Sumatera selamat dari penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Aceh membayar untuk mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung. Sebab jika tulang-belulang 60.000 tentara Aceh dijadikan tiang, maka ianya dapat memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.
Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan Belanda melakukan kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de Houtman dan Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Aceh ketika itu dapat melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati dengan rencongnya sendiri, sementara saudaranya, Frederick de Houtman ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya sebagai tahanan perang, yang masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh tahun. Baca “Oede Glorie”, karangan Marie C. Van Zegelen.
Kejadian ini dilaporkan Sultan Aceh kepada Kerajaan Belanda. Sehubungan dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat permintaan ma’af secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Aceh telah berlaku arif dan bijaksana dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh Tengku Abdul Hamid, Duta besar Aceh di negeri Belanda.
Selain daripada itu, dalam sejarahnya Aceh memberi kebenaran kepada kapal-kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh Panglima perang Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Aceh sebagai pangkalan untuk memperbaiki kapal-kapal yang rusak.
Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Aceh juga telah mencatat sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka sebagai satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan Aceh telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun 1603. Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas pertimbangan politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan kepada pertahanan keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa Kerajaan Aceh mempunyai pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ekonomi dan militer di Selat Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera sebenarnya sangat mahal nilainya berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia Melayu. Untuk melihat bagaimana kuasa Aceh pada masa itu terbukti bahwa ketika Belanda ingin membuka Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda mesti meminta izin dari Sultan Aceh.
Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah Perancis bahwa: “Pada abad ke 17, Sultan Acehlah yang berdaulat atas seluruh pulau Sumatera dan tidak ada sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun juga. Aceh tidak memerintah langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah langsung ialah tepi pantainya dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Aceh memerintah langsung separuh pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah kerajaan-kerajaan yang dilindungi Aceh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu kerajaan dibawah lindungan Aceh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard, Le Sultanat d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama, Aceh telah melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti:

Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN FI-MARIFATI AL-U ADYAN”,

Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ al-MUHAKIKIN AL-IMAN=

Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT AL-MUSTAQIM- BURTANUS AL-SALATIN”;

Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ AL TULABB FI FASHIL”,

“MA’RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB” DAN “UMDAT AL MUHTAJlM’“’




Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu telah memakai perundang undangan Aceh -Qanun Al Asyi / Qanun Meukuta Alam- di Brunei Darussalam dan di Kerajaan Melayu Borneo. Antara Aceh dengan bangsa Melayu yang lain saling mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Aceh dengan Semenanjung Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra Raja Pahang yang diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Aceh sesudah mangkat Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang hidup dari kerukunan antara Aceh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang sangat menguatkan silaturrahim antara Aceh dengan Raja-raja Tanah Melayu. Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim Armada besar bukan untuk berperang tetapi untuk membawa batu-batu nisan dari pualam berukir yang dibuat di Aceh untuk menghiasi makam-makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang. Perintah Sultan Iskandar Sani kepada armada Aceh: ‘Pergilah ke Pahang dan hiasilah makam Ayahanda/ibunda kami dan kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan arak-arakan megah sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah ratusan payung dan kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan dalam perjalanan.
Selama masa Iskandar Sani, hubungan Aceh dengan Semenanjung Tanah Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara dan armada untuk mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Aceh yang dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard. Le Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.
Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Aceh selalu dipandang oleh bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara hubungan baik dengan kerajaan Aceh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London, tahun 1824 yang antara lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan mengganggu gugat kedudukan Aceh di Sumatera dan hubungan baik selama ini terbina dengan baik
Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Aceh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Aceh.
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk kepada Belanda. Karena itu Sultan Aceh menjawabnya dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Aceh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Aceh dan hasil bumi Deli hanya dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (Jawa), sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan tetapi para penasehat militer dan sipil Belanda melarang, kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi. Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah runyam dan dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”.
Bahkan Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: “Gubernur-Jenderal dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar yang dikarang-karang, sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan Acheh dan merampok segala harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah perbuatan yang tidak membalas budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak mempunyai kehormatan, dan yang tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, Atjéh Oorlog, p 39.
Untuk meluluskan niatnya, Belanda mengajak Inggeris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya:” bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris dan jajahan Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda”. Untuk mengusasi seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan, memerangi Aceh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun 1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord Standley Aderley, seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara; kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan -Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Negara Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi suatu Negara merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol”
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Acheh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Aceh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Aceh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Aceh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Aceh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.
“Dalam kenyataan ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalahsudah jelas bahwa. Inggeris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.
Belanda beranggapan bahwa bangsa Aceh mempunyai mentalitas yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan memerangi Aceh, sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi bahagian dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (Jawa), menyatakan Perang kepada Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:

Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;

Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra Belanda warna merah, putih biru;

Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;

Serahkan kepada Belanda sebahagian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Acheh;

Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.

“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873.

Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”
Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis: “Suatu pertempuran berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun”
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Aceh melawan serdadu Belanda dalam perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Aceh memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang dengan mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan MaIuku, serta menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh.
Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Acheh tahun 1942. Belanda keok di Aceh!
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah kedua negara.
Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda” Paul Van ’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.
Bangsa Aceh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab bangsa Aceh memandang perang melawan Belanda sebagai perang suci - jihad fisabilillah - yang bermakna orang Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya. Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Chik Kuta Karang, Panglima Nyak Makam, Tengku Meunasah Baroe ( Krueng Kalee Siem/generasi sebelum Tengku Hasan Krueng Kalee ),Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dan diikuit oleh famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.
Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië bersama pasukannya berjuang di sektor Aceh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Aceh dalam keadaan hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Aceh sekali lagi harus berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang pula angkat kaki dari bumi Aceh. Jadi Aceh otomatis sudah merdeka, apalagi Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun 1946-1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. “sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.
Persoalannya sekarang. Mengapa penjajah Belanda begitu bernafsu terhadap Sumatera? Sehingga mereka berani mempertahukan segala-galanya? Jawabnya sudah tentu: “Saya tahu harganya Sumatera, dengan luas wilayahnya yang tak terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan kita dengan tiada batas sambil memperkuat kedudukan kita di daerah-daerah yang sudah kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara yang lebih menguntungkan kita lagi. “Jawa tenggelam dengan tidak berarti sama sekali jika dibanding dengan Sumatera, atau hal itu sebenarnya sudah terjadi sekarang juga…” Multatuli, 27 Februari, 1872.

INILAH HARGA SUMATERA. Akan tetapi seperti sudah dikatakan bahwa: harga SUMATERA bukan harga material semata-mata. “Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan Sumatera, akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya.”
Jadi, jika berbicara tentang Sumatera, maka kita tidak dapat mengetepikan dua faktor penting yaitu: faktor konstan dan faktor variable yang langsung berhubung kait dengan, keperluan dan kepentingan bangsa-bangsa Sumatera.
Pertama, faktor konstan dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera, yaitu: Bumi Sumatera dan Selat Melaka yang paling penting maknanya. Selat Melaka merupakan poros perdagangan penting yang menuntut perlu adanya kekuatan pertahanan keamanan dari ancaman musuh. Sumatera dan Selat Melaka selalu dipandang strategik dalam konteks politik, ekonomi dan pertahanan, lebih daripada itu ialah untuk menjaga kepentingan nasional bangsa-bangsa Sumatera dan di Semenanjung, sehingga pada akhirnya menjadi suatu dunia yang selamat dan harmoni.
Faktor variable dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera ialah: semua konsep yang datang dari luar, seperti:.* “cultural imperialism”, capitalism”, colonialism”, “salvation”, “paganism”, “democratic way of life“, “Christian” yang telah mempengaruhi dan mengancam nilai-nilai peradaban kultural dan keagamaan bangsa-bangsa Sumatera. Secara mendetil tidak mungkin saya bahas disini


Era Malik Al Saleh

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik Al Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik Al Saleh.

Lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai

Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.

Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.

Era Sultan Iskandar Muda

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Aceh juga merupakan suku bangsa pertama di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi suku bangsa Adi Daya untuk wilayah regional Selat Malaka (Sumatra dan Semenanjung Melayu).
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh lawan Portugis

Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh SultAceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.


Hubungan dengan Barat

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Ottoman

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.


Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.


Perang Aceh


Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Alaiddin Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:

1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan Meunasah, Masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.

Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah akhirnya bernegosiasi dengan Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsouse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menemui Belanda pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan bernegosiasi. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan bernegosiasi dengan Belanda di Lhoek Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem berdamai dengan Belanda, banyak penghulu-penghulu rakyat yang mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.



Bangkitnya nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.

Masa Republik Indonesia

Apakah Aceh Termasuk Anggota Negara-Negara Bagian RIS atau tidak…..?
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:

1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh?

Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:

1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia

Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.

MUHARRAM 1373

Atjeh Darussalam

September 1953

Desember 1962, Daud Beureueh kembali ke pangkuan Ibu pertiwi

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh kembali ke pangkuan Ibu pertiwi, kemudian diadakanlah "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


0 komentar: