Senin, 25 Mei 2009

Qanun Al-Asyi / Qanun Meukuta Alam

Sebagian besar masyarakat Atjeh pasti sering mendengar papatah “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Bentara / Lakseumana ”. Dan saya pun yakin sebagian besar pasti hafal dengan pepatah ini, tapi sayang nya tidak semua orang bias memaknai esensinya.
Secara nalar peribahasa, amat wajar bahwa “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala “ memang sesuai dengan ketatanegaraan dan sejarah Atjeh. Yakni segala urusan yang berkaitan dengan adat dan undang – undang kenegaraan merupakan hak penuh SulthanAceh. Sementara yang menyangkut Agama Islam berada dalam wewenang para ulama.

Dalam dua naskah lama berhuruf Jawoe ( Jawie ) yang telah di salin ke huruf latin oleh T. A. Sakti berupa Adat Atjeh dan Tazkirah Thabaqat, sama sekali tidak menyinggung “ lembaga legislative “ Putroe Phang dan Bentara / Lakseumana. Maka sangat perlu untuk mencari “ Naskah Qanun Al-Asyi “ yang merupakan sumber utama ketatanegaraan kerajaan Atjeh masa lalu.
Memang terhadap Qanun Al – Asyi / Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun sebelum kit abaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi, tentu masih kabur, sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja diantara para pakar, tidak sama penyebutanya. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al – Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut. Lain lagi dengan Prof. Dr. G.J.Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Atjeh. Katanya, naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam. Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya, sudah pasti penjabarannya amat berfariasi.
Diantara budayawan/sastrawan/Sejarawan Atjeh yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof. A. Hasyimy ( lihat di pustaka beliau ), tapi hampir semua naskah Qanun Meukuta Alam yang beliau kutib isinya sama dengan naskah Tazkirah Thabaqat yang sudah ditulis kehuruf lati oleh T.A. Sakti. Jadi kalau disebut Tazkirah Thabaqat sebagai Qanun Meukuta Alam tidak lah tepat, sebab diberbagai halaman dalam naskah tersebut “mempertegas “ bahwa dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula.
Artinya, menghadirkan Qanun Al –Asyi ( artinya : Qanun Atjeh, sebab dalam bahasa Arab sebutan Atjeh disebut dengan Asyi ) merupakan hal yang sangat mendesak agar tidak semraut dalam memahami sejarah perundang-undangan Kesulthanan yang sebagian isinya yang masih relevan bias di adopsi dan dilestarikan.















Menurut Prof. A.Hasyimy, Qanun Meukuta Alam berisi berbagai ketentuan bagi Kerajaan Atjeh Darussalam :
1. Dasar dan rukun ( ketentuan ) Negara dan sistim Pemerintahan.
2. Sumber hokum dan jenis hokum yang berlaku dalam kerajaan.
3. Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah Negara.
4. Lembaga-lembaga Negara di tingkat pusat beserta tugas dan wewenangnya
5. Nama-nama dan gelar jabatan bagi pejabat tinggi tingkat pusat.
6. Syarat-syarat menjadi Sulthan, Mentri,Qadhi dan pejabat tinggi lainnya.
7. Hak-hak warga Negara dan hubungannya dengan Negara.
8. Susunan pemerintah daerah dan tugas-tugas pejabatdaerah.
9. Tata cara pengangkatan Sulthan.
10. Organisasi angkatan perang dan gelar-gelar para perwira tinggi dan menengah
11. Negara dalam keadaan perang.
12. Peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan luar negeri.
13. Syarat keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat.
14. kecuali itu, Qanun Meukuta Alam juga menetapkan beberapa garis pokok tentang tata cara bagaimana seharusnya Sulthan dan para pejabat tinggi lainnya menjalankan pemerintahan ( A.Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, penerbit Beuna-Jakarta, 1983, hal : 346 ).


Tuanku Abdul Jalil ( pernah diterbitkan oleh puas dokumentasi dan informasi Aceh, 1991) yang merupakan penyusunan kembali dari buku “ Susunan Pemerintahan Semasa Sulthanah Atjeh “ yang merupakan terjemahan Aboe Bakar dari buku karya K.F.H.van Langen yang berjudul “ De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sulthanaat “ terbit tahun 1888. Pada edisi kedua Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat kerajaan Atjeh yang tercantum dalam Adat Meukuta Alam, sehingga mudah dipahami pembaca.
Dari kata pengantar sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Ala mini sama sekali tidak lengkap (utuh). Pasalnya karma naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika Belanda dapat menduduki Masjid Indrapuri tahun 1879, di antara naskah – naskah yang berserakan, ditemukan naskah Adat Meukuta Alam yang tidak lengkap lagi. Dan perlu diketahui bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, Sulthan Muhammad Daud Syah yang merupakan Raja Atjeh terakhir dilantik menjadi sulthan di Masjid Indrapuri .
Jadi walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tapi itu merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetep belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh ( lengkap ).
Salah satu solusi yang mungkin ditempuh untuk mencari naskah asli Qanun Meukuta Alam adalah dengan mencetak ulang buku-buku lama yang pernah diterbitkan tempoe doeloe. Buku-buku tempoe doeloe yang membahas tentang Atjeh biasanya penjelasannya amat teperinci. Bacalah buku-buku yang ditulis ( kalau masih ada anda miliki…) oleh Dada Meuraxa, H.M Zainuddin, M.Joenus Djamil, pasti akan terlihat bahwa mereka amat menguasai dan mengerti masalah yang sedang ditulis. Maka dengan beredarnya kembali buku-buku ini, masyarakat luas, baik yang berada di Atjeh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi penyusunan kembali perundang-undangan di Atjeh.
Cara lain dapat ditempuh juga dengan menyebarkan iklan kepada media massa yang terbit di Negara-negara yang tercakup dalam dunia Melayu bahwa masyarakat Atjeh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan membayar dengan bayaran yang menggiurkan ( kayak dinasty Abbasyiah aja nich….). Bukan mustahil masyarakat di dunia Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Pattani ( Thailand), Campa ( Kamboja), Philipina Selatan dan lain-lainnya masih menyimpan masih menyimpan naskah tersebut, karma Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawoe ( Jawi). Bahkan dalam sebuah literature disebutkan bahwa Sultan Hasan dari Brunai Darussalam pada abad 18 secara terang-terangan menyatakan bahwa ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Meukuta Alam Atjeh.
Memang pernah terjadi bahwa naskah-naskah lama ( manuskrip ) bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah lain, bahkan di seberang lautan. Hikayat Raja-raja Pasai dan Adat Atjeh merupakan contoh kongkrit. Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan bukti satu-satunya tentang kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, naskahnya dijumpai diwilayah Bogor Jawa Barat. Pemiliknya Kiai Suradimenggala, mantan Bupati Demak. Atas inisiatif Thomas Stamford Raffles, Wakil Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu untuk membayar orang untuk menyalinnya. Setelah ia meninggal, istrinya menyerahkan naskah itu ke perpustakaan Royal Asiatic Society di London tahun 1830. Tidak lama kemudian, sarjana Perancis E. Delaurier melakukan pengkajian terhadap naskah tersebut, selanjutnya diterbitkan di Paris pada tahun 1848. Buku terbitan itulah yang sampai ke Atjeh, sehingga kita dapat membaca sejarah kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, baik dalam huruf latin, maupun huruf Arab Jawoe ( Jawie ).
Begitu juga dengan Adat Atjeh, semula naskah beraksara jawoe itu tersimpan di Perpustakaan/ India Office Library di London Ingggris. Kemudian atas usaha Sarjana Belanda G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve yang melakukan pengkajian, kemudian mereka menerbitkan dalam Jurnal “ Verhandelingen “ no 24 di Denhage, Belanda pada tahun 1958. Buku / Jurnal terbitan negeri Belanda itulah yang beredar di Atjeh. Menariknya, selain pembahasannya dalam huruf Latin, jurnal ini juga melampirkan uraian asli dalam Aksara Arab Jawoe ( Melayu ).
Memang benar kata pepatah Atjeh “ Meunyoe Tatem Peulaku, Boh Labu Jeut Keu Asoe Kaya, Meunyoe Han Tatem Peulaku, Aneuk Teungku Jeut Keu Beulaga…..”


By : B@ng Dj 09




0 komentar: