Rabu, 14 Oktober 2009

SURAT SURAT SULTAN ATJEH DARUSSALAM

"Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".

Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris James pada tahun 1615 silam. Duplikatnya dapat dihihat perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.

Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli ini ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.

Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekam kemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjuluk Sultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncak kejayaannya.

Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulis buku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad 16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.

"Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdagangan lada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untuk menyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi ini juga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim guna melakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis," jelas Prof.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.

Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki dengan mengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendiri kini disimpan sebagai 'tanda mata perang' di Museum Bronbeek, Belanda.

Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasa ketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadap campur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunya adalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli. Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemah Portugis.


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari utara matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam RajaJames.


Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Nusantara pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.


Pasca-Sultan Iskandar Tsani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditanda tangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh. Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan.

Tradisi dayah (pesantren) di Aceh sudah sangat tua. Bahkan mungkin sama tuanya dengan proses penyebaran agama Islam di Aceh itu sendiri. Tercatat, ulama dayah di Aceh adalah peletak dasar sendi agama Islam di Aceh.
Hal itu bisa dirunut dari keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan yang sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Peurlak, Kerajaan Samudera Pasai, hingga masa Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Selain itu, dayah juga menjadi tempat untuk menjaga manuskrip dan kitab-kitab kuno yang langka. Misalnya di Zauyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang menyimpan sekitar 4.000 manuskrip. Berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan ulama Aceh maupun sejumlah ulama dari luar Aceh menjadi koleksi pesantren ini.
Semasa Perang Atjeh, ribuan manuskrip dan kitab kuno ini sempat tersebar di berbagai pelosok Aceh. Manuskrip itu sengaja disembunyikan di rumah- rumah penduduk karena, saat itu, pemimpin Zauyah Tanoh Abee adalah penasihat Perang Atjeh yang diburu oleh Belanda.
Pascakemerdekaan, naskah kuno ini dikumpulkan kembali. Hingga kini terkoleksi cukup rapi di perpustakaan zauyah. Saat ribuan naskah kuno di sejumlah museum dan perpustakaan di Banda Aceh musnah akibat tsunami, koleksi manuskrip di Zauyah Tanoh Abee kian menemukan makna pentingnya.
Namun, perpustakaan kuno di Zauyah Tanoh Abee kini juga dihadapkan pada masalah biaya perawatan manuskrip. Akibatnya, banyak yang telah rusak karena dimakan waktu. Sebagian manuskrip juga telah luntur tintanya, tanpa sempat disalin atau dibuat mikrofilm-nya.
”Kami sekarang hanya bisa memberikan kapur barus untuk mempertahankan manuskrip ini. Tentu itu tidak cukup,” kata Tengku M Dahlan Al Fairussi Al Baghdadi (60), pemimpin generasi ke-9 di Zauyah Tanoh Abee.
Manuskrip kuno itu hingga kini masih menjadi kekayaan tersembunyi dari Zauyah Tanoh Abee, lantaran tak banyak yang memanfaatkan. ”Hanya ada sesekali peneliti dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Arab yang datang kemari. Suasana Aceh tak kondusif, tak banyak yang berani datang hingga ke pedalaman,” katanya.
Mengejar ketertinggalan
Kini, di tengah kondisi semacam itu, sebagian dayah mulai mencoba mengejar ketertinggalan dari laju modernitas dengan memasukkan peranti komputer. Sebagian memang hanya menjadikan komputer untuk mempermudah penyusunan administrasi kantor. Namun, sebagian mulai mengajarkan komputer sebagai bagian dari pengajaran.
Bahkan, Dayah Samalanga mulai merintis mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Agama, setelah sebelumnya mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Dan, ijazah sekolah tinggi dari Dayah Samalanga bisa digunakan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Ar Raniry di Banda Aceh.
Sungguhpun begitu, arus informasi melalui berbagai media elektronik, seperti televisi, radio, dan internet di satu sisi masih disikapi sebagai momok bagi sebagian kalangan dayah. Kegelisahan seperti ini seolah menjadi pemicu semangat santri dan ulama dayah untuk kembali menegakkan fungsi dan peran dayah seperti pada masa kejayaannya dulu.
Mereka rata-rata mengaku tidak antimodernitas, namun tetap selektif untuk menyentuh produk-produk modernisasi itu. Tak heran jika banyak santri yang menggunakan telepon genggam dan memakai komputer. Tapi, jangan harap ada televisi di dayah. Salah satu ikon modernitas itu seolah menjadi barang haram di dayah.
”Televisi itu sumber kemungkaran, program-program yang disajikan di sana lebih banyak mudharat,” kata Tgk Ilyas, salah seorang santri muda Pesantren Tauthiatut Thullab. ”Para santri dilarang keras menonton televisi,” lanjut Ilyas.
Para ulama dan santri dayah kini memang seperti menghadapi suatu dilema. Mereka secara langsung berhadapan dengan modernitas, tetapi cara pandang mereka masih tradisional. Sampai kapan mereka akan bertahan?

Dari waktu ke waktu

Peran dayah dalam perjalanannya tidak hanya sebatas lembaga pendidikan keagamaan. Dayah juga menyentuh ranah sosial politik, bahkan lebih jauh menjadi tempat berlindung,dan menggembleng diri.
Pada masa Perang Atjeh, dayah malah sebagai tempat menyusun strategi. Sebagian dayah juga menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zauyah. Salah satu di antaranya adalah Zauyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tercatat pada masanya, dayah sanggup melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah. Salah seorang di antaranya adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima Zauyah Tgk Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh, seperti diutarakan Tgk M Dahlan Al Fairussi yang kini menjadi pimpinan generasi kesembilan di zauyah tersebut.
Menurut Ensiklopedi Agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga Hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Menurut keterangan Tgk H Moch Dahlan, Cot Kala merupakan satu dari tiga zauyah, selain Zauyah Tanoh Abee pimpinannya dan Zauyah Bidal di Banda Aceh yang termasuk menjadi korban bencana tsunami pada akhir tahun 2004.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh Hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam yang berdarah Palestina.
Dalam periode yang sama berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahaman, Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut, Jami’ Baiturrahman memiliki lebih dari 40 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1.000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren-pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Namun, jumlah tersebut diakui tidak semuanya bisa dikategorikan dayah. Seperti dijelaskan oleh Tgk Taufik, Sekjen Thaliban (ikatan santri Aceh) Kota Banda Aceh, bahwa yang dikategorikan dayah adalah pesantren yang menyediakan pondokan atau bilik dan santri-santrinya menginap di sana. Sementara banyak balai-balai pengajian yang mungkin terkategorikan sebagai pesantren oleh Departemen Agama.
Jika pada masa kejayaan Islam dan masa konflik di Aceh peran aktif sosial politik dayah sangat kental, maka pada era setelah kemerdekaan peran dayah di kedua fungsi itu memudar. Kini, di era damai, dayah dihadapkan pada tugas berat untuk menjadi penjaga moral masyarakat yang tengah dihadapkan pada realitas budaya global.

Rampagoe B@ng Dj


0 komentar: