Kamis, 19 November 2009

SEJARAH SINGKAT KERETA API ACEH (ATJEH TRAM)

26 Juni 1874

Gubernur Belanda di Aceh yang telah menguasai Kutaraja memerintahkan untuk menghubungkan tempat pendaratan ekpedisi pertama Belanda dari pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja dengan rel kereta api sepanjang 5 km dengan lebar spoor (rel) 1,067 meter.

12 Agustus 1876

Jalan kereta api Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum dengan biaya 540.000 Golden.

Tahun 1885

Jalur kereta api diteruskan hingga Glee Kameng Indrapuri, namun hanya terlaksana sampai Lambaro Kaphe dengan alasan keamanan. Lebar spoor dikurangi menjadi0,75 m dengan panjang 10 km.

Tahun 1889

Dibuka jalur dari Kutaraja ke Lamnyong, sebuah jalur tengah ke Peukan Krung Cut dan Rumah Sakit Militer Pante Perak (RS Kesdam sekarang). Jalur ini membawa orang luka dan sakit dari pos militer keluar Aceh

Januari 1898

Jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimum sepanjang 18 km dan dimanfaatkan untuk lalu lintas Umum.

Tahun 1900

Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api Seulimum – Sigli – Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun rel ini sebesar 3 juta Golden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat berat.

15 September 1903

Jalur Beureunun – Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum.

Tahun 1912

Pertemuan jalur kereta api lintasan Deli - Pangkalan Brandan dimulai. Jalur kereta api Langsa – Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum.

29 Desember 1919

Persambungan kereta api Deli Spoorweg Maatschappij dengan lintasan Aceh diresmikan pemakaian. Total panjang jalur kereta api Aceh 450 km dengan total biaya 23 juta Golden

Tahun 1982

Banda Aceh resmi sudah tidak memiliki kereta api lagi. Hal ini dikarenakan tidak mampu bersaing dengan sarana transportasi jalan raya yang sudah semakin baik dan sulitnya mencari onderdil kere


Leubeh Saheh....

Kamis, 22 Oktober 2009

KERAJAAN LAMURI (ACEH RAYEUK/ACEH LHEE SAGOE)

Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena keterbatasan data yang diperoleh
Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.

Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.

Menurut Said, (1961 : 33-34) Lamuri letaknya di Aceh Besar sekarang. Tentang nama Lamuri banyak ejaannya, ada Lambri sebagaimana di sebut oleh Marco Pol lo. Ada Ramini, Ramni atau Lameri, sebagaimana disebut oleh orang- orang Arab. Sejarah melayupun menyebut Lamuri. Orang Tionghoa menyebutnya Lan-li, Lan-wuli, Nan-wuli dan Nanpoli. Menurut In Khordadzbeh (meningga tahun 885) menyebut pula Rami dimana didapati binatang badak, letaknya Sailan, penghasil kemenyan. Saudagar Sulayman (th.851) mencerita perlawatannya lewat lautan India dalam ”Silsilah-al Tawarrikh”, bahwa pulau yang dikunjunginya dibagian ini bernama Ramni. Abu Zayd Hasan (th.916) menyebut Rami, dan juga menceritakan tentang kemenyan dan kapur barus. Mas’udi (meninggal tahun 945) menulis lebih banyak, dia menyebutnya Al-Ramin, dimana didapati tambang emas dan letaknya dekat pulau Fansur yang masyur dengan kapurnya. Seorang muslim parsi bernama Bozorg (955) takkala menunjuk Sriwijaya menyebut letaknya diselatan Lameri. Menurut Bozorg, dari pantai Barus dapat dilakukan perjalanan lewat darat ke Lameri. Ini berarti bahwa masa Sriwijaya, Lameri Aceh sudah berdiri.

Disamping itu menurut Yuanzhi, (2000: 96) pada musim dingin tahun Yong Le ke- 11 (tahun 1413) armanda Ceng Ho berlayar ke Samudra Barat untuk ke empat kalinya. Armadanya mula-mula ke Campa, kemudian berturut-turut berkunjung ke Jawa, Palembang Malaka, Aceh dan sebagainya.
Disamping itu Yuanzhi, (2000: 115) menambahkan , bila bertolak dari Kerajaan Pasai menuju ke sebelah barat, kapal akan sampai di Kerajaan Lambri(Lamuri) setelah berlayar 3 hari 3 malam di bawah angin buritan. Baik sang raja maupun rakyatnya muslim. Di sebelah barat dan utaranya menghadap laut luas. Di sebelah selatannya adalah gunung. Sebelah timurnya berbatasan dengan Kerajaan Lide.

Menurut Zainuddin,(1961: 23) setelah lebih kurang 400 Masehi dan sesudah kedatangan portugis, nama Lambri tak pernah disebut-sebut lagi, melainkan Achem (Atjeh). Orang Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen dan orang Arab menyebutkan lagi : Asji, atau juga Dachem, dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan: Achem, Achen, Achin, Acheh, orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin, Acheh, orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjim, Atsjeh dan akhirnya Atjeh. Orang Atjeh sendiri mengatakan ”Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut dalam tarikh Melayu. Undang-undang melayu, di dalam surat – surat Atjeh lama ( sarakata ) dan pada mata-mata uang Atjeh, emas(dirham), uang timah (keueh) Atjeh dan sebagainya di sebut Atjeh.

Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.

Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.

Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamian, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.

2. Silsilah

(Masih dalam proses pengumpulan data)

3. Periode Pemerintahan

Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

4. Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

5. Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.

(Rampagoe B@ng Dj)

Sumber:

* A.Rani Usman “Kerajaan Lamuri”, Sejarah Peradaban Aceh : Yayasan Obor Indonesia, 2003.
* “Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses tanggal 15 Desember 2007.
* “Pariwisata Nangroe Aceh Darussalam”, dalam http://www.tamanmini.com/anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh,
* Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Leubeh Saheh....

Rabu, 14 Oktober 2009

MUSIC ETNIC ACEH

1. DALAIL KHAIRAT(KHASIDAH BURDAH)
2. NYAWONG - SALEUM
3. CUPA BAND - SALEUM
4. CUPA BAND – ILAHI
5. LIZA AULIA – KEUNEUBAH
6. BIJEEH – THOE KREENG
7. RAJAWALI BAND – TAREK PUKAT
8. SANGGAR SEULAWET IAIN AR-RANIRY - AWALUDDIN
9. RAKET
10. CUPA BAND TAUBAT
11. IMUM JHOEN – LAILAHAILLALLAH
12.BIJEH – TROEH BAK WATE
13. NYAWONG – PANGLIMA PRANG
14. NYAWONG – UNTONG KAMOE NYOE
15. NYAWONG – HARO HARA
16. BIJEH – GEULUMBANG RAYA
18. SAED JAYA - KAPALO
19. KANDE BAND - MEUKOENDROE
20. RAKET – GOH MAHEE
21. CUPA BAND – DO’A
22. RAFLI – SUKEE 300
23. NYAWOENG(CUT AJA) – DODA IDIE
24. KANDE BAND - MUMANG
25. Raket - Meusigak
26. CUPA BAND - BUNGONG
27. IMUM JHON(SARJANI)- LAILAHAILLALLAH
28. IMUM JHON(SARJANI)- HITAM_PUTIH_BAK_MATA
29. INSTRUMEN MON HAYATI(RAFLI)
30. Cut Yusmiati-Aceh Ujong_Sumatra
31. Cut Yusmiati-Loen Jk Wisata
32. Cut Yusmiati-Meuheut Loen Peugah
33. RAMLAN_YAHYA-Aneuk_Loen_Sayang
34. RAMLAN YAHYA-REINA
35. RAMLAN YAHYA_BUNGOENG_DUSON
36. RAFLI – DAMEE ACEH
37.
Pada manyat beliau ditemukan Ajimat ( Ubat Keubai ) berupa Rante Bui, Aneuk Beude ( Peluru ) dan Ulat Jeut. Ajimat ini ( Ubat Keubai ) merupakan batuan (fosil) yang terbentuk dalam rongga mulut babi hutan tertentu, ( babi kurus yang suka menyendiri dengan jalan terseok – seok ). Untuk memperoleh Rante Bui biasanya babi hutan tersebut ‘dipancing’ dengan setumpuk Keureumeuh “ Ampas Kelapa”. Babi tersebut menyimpan rantai tersebut di tempat tersembunyi sebelum memakan Ampas Kelapa yang diletakkan oleh orang yang hendak mengambil rantai tersebut .
Ajimat tersebut kini tersimpan di Koloniaal Musium, Amsterdam Belanda. Pada umumnya para pejuang Atjeh banyak memakai Ajimat dan Mengamalkan Isiem ( Mantra ) untuk ilmu kebal dalam rangka menghadapi tentara Belanda ( Marsose ) yang dikenal cukup kejam dan sebahagian besar personilnya merupakan tentara yang di rengkrut dari tanah Jawa dan Ambon. ( Rampagoe B@ng Dj )


Leubeh Saheh....

SURAT SURAT SULTAN ATJEH DARUSSALAM

"Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".

Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris James pada tahun 1615 silam. Duplikatnya dapat dihihat perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.

Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli ini ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.

Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekam kemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjuluk Sultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncak kejayaannya.

Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulis buku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad 16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.

"Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdagangan lada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untuk menyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi ini juga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim guna melakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis," jelas Prof.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.

Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki dengan mengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendiri kini disimpan sebagai 'tanda mata perang' di Museum Bronbeek, Belanda.

Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasa ketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadap campur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunya adalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli. Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemah Portugis.


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari utara matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam RajaJames.


Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Nusantara pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.


Pasca-Sultan Iskandar Tsani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditanda tangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh. Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan.

Tradisi dayah (pesantren) di Aceh sudah sangat tua. Bahkan mungkin sama tuanya dengan proses penyebaran agama Islam di Aceh itu sendiri. Tercatat, ulama dayah di Aceh adalah peletak dasar sendi agama Islam di Aceh.
Hal itu bisa dirunut dari keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan yang sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Peurlak, Kerajaan Samudera Pasai, hingga masa Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Selain itu, dayah juga menjadi tempat untuk menjaga manuskrip dan kitab-kitab kuno yang langka. Misalnya di Zauyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang menyimpan sekitar 4.000 manuskrip. Berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan ulama Aceh maupun sejumlah ulama dari luar Aceh menjadi koleksi pesantren ini.
Semasa Perang Atjeh, ribuan manuskrip dan kitab kuno ini sempat tersebar di berbagai pelosok Aceh. Manuskrip itu sengaja disembunyikan di rumah- rumah penduduk karena, saat itu, pemimpin Zauyah Tanoh Abee adalah penasihat Perang Atjeh yang diburu oleh Belanda.
Pascakemerdekaan, naskah kuno ini dikumpulkan kembali. Hingga kini terkoleksi cukup rapi di perpustakaan zauyah. Saat ribuan naskah kuno di sejumlah museum dan perpustakaan di Banda Aceh musnah akibat tsunami, koleksi manuskrip di Zauyah Tanoh Abee kian menemukan makna pentingnya.
Namun, perpustakaan kuno di Zauyah Tanoh Abee kini juga dihadapkan pada masalah biaya perawatan manuskrip. Akibatnya, banyak yang telah rusak karena dimakan waktu. Sebagian manuskrip juga telah luntur tintanya, tanpa sempat disalin atau dibuat mikrofilm-nya.
”Kami sekarang hanya bisa memberikan kapur barus untuk mempertahankan manuskrip ini. Tentu itu tidak cukup,” kata Tengku M Dahlan Al Fairussi Al Baghdadi (60), pemimpin generasi ke-9 di Zauyah Tanoh Abee.
Manuskrip kuno itu hingga kini masih menjadi kekayaan tersembunyi dari Zauyah Tanoh Abee, lantaran tak banyak yang memanfaatkan. ”Hanya ada sesekali peneliti dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Arab yang datang kemari. Suasana Aceh tak kondusif, tak banyak yang berani datang hingga ke pedalaman,” katanya.
Mengejar ketertinggalan
Kini, di tengah kondisi semacam itu, sebagian dayah mulai mencoba mengejar ketertinggalan dari laju modernitas dengan memasukkan peranti komputer. Sebagian memang hanya menjadikan komputer untuk mempermudah penyusunan administrasi kantor. Namun, sebagian mulai mengajarkan komputer sebagai bagian dari pengajaran.
Bahkan, Dayah Samalanga mulai merintis mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Agama, setelah sebelumnya mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Dan, ijazah sekolah tinggi dari Dayah Samalanga bisa digunakan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Ar Raniry di Banda Aceh.
Sungguhpun begitu, arus informasi melalui berbagai media elektronik, seperti televisi, radio, dan internet di satu sisi masih disikapi sebagai momok bagi sebagian kalangan dayah. Kegelisahan seperti ini seolah menjadi pemicu semangat santri dan ulama dayah untuk kembali menegakkan fungsi dan peran dayah seperti pada masa kejayaannya dulu.
Mereka rata-rata mengaku tidak antimodernitas, namun tetap selektif untuk menyentuh produk-produk modernisasi itu. Tak heran jika banyak santri yang menggunakan telepon genggam dan memakai komputer. Tapi, jangan harap ada televisi di dayah. Salah satu ikon modernitas itu seolah menjadi barang haram di dayah.
”Televisi itu sumber kemungkaran, program-program yang disajikan di sana lebih banyak mudharat,” kata Tgk Ilyas, salah seorang santri muda Pesantren Tauthiatut Thullab. ”Para santri dilarang keras menonton televisi,” lanjut Ilyas.
Para ulama dan santri dayah kini memang seperti menghadapi suatu dilema. Mereka secara langsung berhadapan dengan modernitas, tetapi cara pandang mereka masih tradisional. Sampai kapan mereka akan bertahan?

Dari waktu ke waktu

Peran dayah dalam perjalanannya tidak hanya sebatas lembaga pendidikan keagamaan. Dayah juga menyentuh ranah sosial politik, bahkan lebih jauh menjadi tempat berlindung,dan menggembleng diri.
Pada masa Perang Atjeh, dayah malah sebagai tempat menyusun strategi. Sebagian dayah juga menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zauyah. Salah satu di antaranya adalah Zauyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tercatat pada masanya, dayah sanggup melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah. Salah seorang di antaranya adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima Zauyah Tgk Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh, seperti diutarakan Tgk M Dahlan Al Fairussi yang kini menjadi pimpinan generasi kesembilan di zauyah tersebut.
Menurut Ensiklopedi Agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga Hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Menurut keterangan Tgk H Moch Dahlan, Cot Kala merupakan satu dari tiga zauyah, selain Zauyah Tanoh Abee pimpinannya dan Zauyah Bidal di Banda Aceh yang termasuk menjadi korban bencana tsunami pada akhir tahun 2004.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh Hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam yang berdarah Palestina.
Dalam periode yang sama berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahaman, Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut, Jami’ Baiturrahman memiliki lebih dari 40 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1.000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren-pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Namun, jumlah tersebut diakui tidak semuanya bisa dikategorikan dayah. Seperti dijelaskan oleh Tgk Taufik, Sekjen Thaliban (ikatan santri Aceh) Kota Banda Aceh, bahwa yang dikategorikan dayah adalah pesantren yang menyediakan pondokan atau bilik dan santri-santrinya menginap di sana. Sementara banyak balai-balai pengajian yang mungkin terkategorikan sebagai pesantren oleh Departemen Agama.
Jika pada masa kejayaan Islam dan masa konflik di Aceh peran aktif sosial politik dayah sangat kental, maka pada era setelah kemerdekaan peran dayah di kedua fungsi itu memudar. Kini, di era damai, dayah dihadapkan pada tugas berat untuk menjadi penjaga moral masyarakat yang tengah dihadapkan pada realitas budaya global.

Rampagoe B@ng Dj


Leubeh Saheh....

Kamis, 08 Oktober 2009

Ajimat Rante Bui

Dalam sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.


Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.

Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.

Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.

Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.

Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.

Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.

Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.

Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramay itu,” tulis Zentgraaff.

Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.

Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.

Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.

Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.

Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.

Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff. [Rampagoe B@ng Dj]
Leubeh Saheh....

Senin, 25 Mei 2009

Qanun Al-Asyi / Qanun Meukuta Alam

Sebagian besar masyarakat Atjeh pasti sering mendengar papatah “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Bentara / Lakseumana ”. Dan saya pun yakin sebagian besar pasti hafal dengan pepatah ini, tapi sayang nya tidak semua orang bias memaknai esensinya.
Secara nalar peribahasa, amat wajar bahwa “ Adat Bak Poeteumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala “ memang sesuai dengan ketatanegaraan dan sejarah Atjeh. Yakni segala urusan yang berkaitan dengan adat dan undang – undang kenegaraan merupakan hak penuh SulthanAceh. Sementara yang menyangkut Agama Islam berada dalam wewenang para ulama.

Dalam dua naskah lama berhuruf Jawoe ( Jawie ) yang telah di salin ke huruf latin oleh T. A. Sakti berupa Adat Atjeh dan Tazkirah Thabaqat, sama sekali tidak menyinggung “ lembaga legislative “ Putroe Phang dan Bentara / Lakseumana. Maka sangat perlu untuk mencari “ Naskah Qanun Al-Asyi “ yang merupakan sumber utama ketatanegaraan kerajaan Atjeh masa lalu.
Memang terhadap Qanun Al – Asyi / Qanun Meukuta Alam alias Adat Meukuta Alam telah dilakukan banyak pengkajian oleh para pakar. Namun sebelum kit abaca sendiri naskah asli Qanun Al-Asyi, tentu masih kabur, sebab masih banyak hal yang belum jelas. Soal judul naskah saja diantara para pakar, tidak sama penyebutanya. Ada penulis yang menyamakan judul Qanun Al – Asyi dengan Qanun Meukuta Alam serta Adat Meukuta Alam. Tetapi ada pula pakar yang membedakan ketiga judul tersebut. Lain lagi dengan Prof. Dr. G.J.Drewes yang pernah mengkaji naskah Adat Atjeh. Katanya, naskah itulah yang bernama Adat Meukuta Alam. Kalau masalah judul saja sudah berbeda, apalagi tentang isinya, sudah pasti penjabarannya amat berfariasi.
Diantara budayawan/sastrawan/Sejarawan Atjeh yang paling serius menelaah Qanun Meukuta Alam adalah Prof. A. Hasyimy ( lihat di pustaka beliau ), tapi hampir semua naskah Qanun Meukuta Alam yang beliau kutib isinya sama dengan naskah Tazkirah Thabaqat yang sudah ditulis kehuruf lati oleh T.A. Sakti. Jadi kalau disebut Tazkirah Thabaqat sebagai Qanun Meukuta Alam tidak lah tepat, sebab diberbagai halaman dalam naskah tersebut “mempertegas “ bahwa dirinya adalah berjudul Tazkirah Thabaqat pula.
Artinya, menghadirkan Qanun Al –Asyi ( artinya : Qanun Atjeh, sebab dalam bahasa Arab sebutan Atjeh disebut dengan Asyi ) merupakan hal yang sangat mendesak agar tidak semraut dalam memahami sejarah perundang-undangan Kesulthanan yang sebagian isinya yang masih relevan bias di adopsi dan dilestarikan.















Menurut Prof. A.Hasyimy, Qanun Meukuta Alam berisi berbagai ketentuan bagi Kerajaan Atjeh Darussalam :
1. Dasar dan rukun ( ketentuan ) Negara dan sistim Pemerintahan.
2. Sumber hokum dan jenis hokum yang berlaku dalam kerajaan.
3. Pemerintah pusat dan pembagian wilayah-wilayah Negara.
4. Lembaga-lembaga Negara di tingkat pusat beserta tugas dan wewenangnya
5. Nama-nama dan gelar jabatan bagi pejabat tinggi tingkat pusat.
6. Syarat-syarat menjadi Sulthan, Mentri,Qadhi dan pejabat tinggi lainnya.
7. Hak-hak warga Negara dan hubungannya dengan Negara.
8. Susunan pemerintah daerah dan tugas-tugas pejabatdaerah.
9. Tata cara pengangkatan Sulthan.
10. Organisasi angkatan perang dan gelar-gelar para perwira tinggi dan menengah
11. Negara dalam keadaan perang.
12. Peraturan dasar tentang perdagangan dalam dan luar negeri.
13. Syarat keadilan pemerintah dan ketaatan rakyat.
14. kecuali itu, Qanun Meukuta Alam juga menetapkan beberapa garis pokok tentang tata cara bagaimana seharusnya Sulthan dan para pejabat tinggi lainnya menjalankan pemerintahan ( A.Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, penerbit Beuna-Jakarta, 1983, hal : 346 ).


Tuanku Abdul Jalil ( pernah diterbitkan oleh puas dokumentasi dan informasi Aceh, 1991) yang merupakan penyusunan kembali dari buku “ Susunan Pemerintahan Semasa Sulthanah Atjeh “ yang merupakan terjemahan Aboe Bakar dari buku karya K.F.H.van Langen yang berjudul “ De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sulthanaat “ terbit tahun 1888. Pada edisi kedua Tuanku Abdul Jalil berupaya menjelaskan istilah-istilah pangkat, gelar dan jabatan perangkat kerajaan Atjeh yang tercantum dalam Adat Meukuta Alam, sehingga mudah dipahami pembaca.
Dari kata pengantar sudah dijelaskan, bahwa naskah Adat Meukuta Ala mini sama sekali tidak lengkap (utuh). Pasalnya karma naskah ini berasal dari sisa-sisa pertempuran yang dahsyat. Ketika Belanda dapat menduduki Masjid Indrapuri tahun 1879, di antara naskah – naskah yang berserakan, ditemukan naskah Adat Meukuta Alam yang tidak lengkap lagi. Dan perlu diketahui bahwa setahun sebelumnya yaitu tahun 1878, Sulthan Muhammad Daud Syah yang merupakan Raja Atjeh terakhir dilantik menjadi sulthan di Masjid Indrapuri .
Jadi walaupun sudah diterbitkan buku yang berjudul Adat Meukuta Alam, tapi itu merupakan saduran yang berulang kali dari naskah asli yang tidak lengkap. Saduran pertama ke bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini kita tetep belum mendapatkan naskah asli Qanun Meukuta Alam yang utuh ( lengkap ).
Salah satu solusi yang mungkin ditempuh untuk mencari naskah asli Qanun Meukuta Alam adalah dengan mencetak ulang buku-buku lama yang pernah diterbitkan tempoe doeloe. Buku-buku tempoe doeloe yang membahas tentang Atjeh biasanya penjelasannya amat teperinci. Bacalah buku-buku yang ditulis ( kalau masih ada anda miliki…) oleh Dada Meuraxa, H.M Zainuddin, M.Joenus Djamil, pasti akan terlihat bahwa mereka amat menguasai dan mengerti masalah yang sedang ditulis. Maka dengan beredarnya kembali buku-buku ini, masyarakat luas, baik yang berada di Atjeh atau dimana saja akan mengetahui betapa pentingnya naskah Qanun Meukuta Alam bagi penyusunan kembali perundang-undangan di Atjeh.
Cara lain dapat ditempuh juga dengan menyebarkan iklan kepada media massa yang terbit di Negara-negara yang tercakup dalam dunia Melayu bahwa masyarakat Atjeh sedang mencari naskah Qanun Meukuta Alam dan akan membayar dengan bayaran yang menggiurkan ( kayak dinasty Abbasyiah aja nich….). Bukan mustahil masyarakat di dunia Melayu seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Pattani ( Thailand), Campa ( Kamboja), Philipina Selatan dan lain-lainnya masih menyimpan masih menyimpan naskah tersebut, karma Qanun Meukuta Alam tertulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab Jawoe ( Jawi). Bahkan dalam sebuah literature disebutkan bahwa Sultan Hasan dari Brunai Darussalam pada abad 18 secara terang-terangan menyatakan bahwa ia mengambil pedoman pemerintahannya dari naskah Adat Meukuta Alam Atjeh.
Memang pernah terjadi bahwa naskah-naskah lama ( manuskrip ) bukan dijumpai kembali di wilayah asalnya, tetapi di daerah lain, bahkan di seberang lautan. Hikayat Raja-raja Pasai dan Adat Atjeh merupakan contoh kongkrit. Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan bukti satu-satunya tentang kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, naskahnya dijumpai diwilayah Bogor Jawa Barat. Pemiliknya Kiai Suradimenggala, mantan Bupati Demak. Atas inisiatif Thomas Stamford Raffles, Wakil Gubernur Jenderal Inggris di Jawa saat itu untuk membayar orang untuk menyalinnya. Setelah ia meninggal, istrinya menyerahkan naskah itu ke perpustakaan Royal Asiatic Society di London tahun 1830. Tidak lama kemudian, sarjana Perancis E. Delaurier melakukan pengkajian terhadap naskah tersebut, selanjutnya diterbitkan di Paris pada tahun 1848. Buku terbitan itulah yang sampai ke Atjeh, sehingga kita dapat membaca sejarah kerajaan Samudera Pasai dalam bentuk tulisan, baik dalam huruf latin, maupun huruf Arab Jawoe ( Jawie ).
Begitu juga dengan Adat Atjeh, semula naskah beraksara jawoe itu tersimpan di Perpustakaan/ India Office Library di London Ingggris. Kemudian atas usaha Sarjana Belanda G.W.J. Drewes dan P. Voorhoeve yang melakukan pengkajian, kemudian mereka menerbitkan dalam Jurnal “ Verhandelingen “ no 24 di Denhage, Belanda pada tahun 1958. Buku / Jurnal terbitan negeri Belanda itulah yang beredar di Atjeh. Menariknya, selain pembahasannya dalam huruf Latin, jurnal ini juga melampirkan uraian asli dalam Aksara Arab Jawoe ( Melayu ).
Memang benar kata pepatah Atjeh “ Meunyoe Tatem Peulaku, Boh Labu Jeut Keu Asoe Kaya, Meunyoe Han Tatem Peulaku, Aneuk Teungku Jeut Keu Beulaga…..”


By : B@ng Dj 09




Leubeh Saheh....

Jumat, 22 Mei 2009

Sejarah Masjid Siem

Masjid Jamik Mukim Siem Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar sebuah masjid yang dibangun sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Namun dalam masa penjajahan Belanda, masjid tersebut telah dibakar oleh tentara kolonial Belanda.
Selanjutnya setelah peperangan berakhir dan Belanda telah menguasai Kerajaan Aceh, serta umat Islam kembali ke kampungnya masing-masing, Masjid Jamik Mukim Siem yang telah terbakar pada masa awal pendudukan Belanda, dibungun kembali dalam bentuk yang sangat sederhana, bangunannya kayu dengan lantai tanah dan dilapisi dengan batu-batu tipis. Seterusnya sesuai dengan tuntutan keadaan, Masjid Jamik Mukim Siem dibangun baru di tempat yang sama dengan ukuran yang lebih luas, namun masih belum permanen dengan bangunan dari kayu dan lantainya semen.

Dalam perjalan waktu dan pertambahan penduduk yang begitu pesat, pada tahun 1979 Masjid Jamik Mukim Siem kembali dibangun baru (di lokasi baru dalam komplek yang sama) dengan bangunan yang permanen berukuran 18 x 20 m atau dengan luas lantai 360 m2. Selanjutnya sesuai kebutuhan, bangunan Masjid Jamik Mukim Siem ini direnovasi dan diperluas menjadi 24 x 28 m atau dengan luas lantai 672 m2, dan sampai akhir tahun 2004 (sebelum gempa bumi 26 Desember 2004) bangunannya sudah mencapai 80 % siap.

Dengan terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004, mengakibatkan bangunan Masjid Jamik Mukim Siem mengalami kehancuran dan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan lagi. Kerugian ditaksir mencapai 2 milyar rupiah.

Pada dua minggu pertama setelah musibah gempa bumi, masyarakat Mukim Siem melakukan shalat Jum’at di halaman masjid dan setelah puing-puing bangunan dibersihkan hampir tiga bulan shalat Jum’at dilakukan di bawah tenda di pelataran (lantai) bekas bangunan masjid. Kenyataan tersebut mendatangkan simpati dari masyarakat umat Islam kota Istanbul Turkey dan memberi bantuan pembangunan Masjid Jamik Mukim Siem sementara dengan konstruksi bangunan dari kayu dan atap seng.

Sampai saat ini Masjid Jamik Mukim Siem sementara bantuan masyarakat umat Islam kota Istanbul Turkey inilah yang digunakan oleh masyarakat Mukim Siem dalam berbagai aktivitas keagamaan seperti shalat fardhu, shalat Jum'at dan pengajian anak-anak Taman Pendidikan Al-Qur'an.

Sejak bulan Juni 2005 Imeum Mukim Siem telah mengeluarkan sebuah Surat Keputusan tentang "Susunan Panitia Pembangunan Baru Masjid Jamik Mukim Siem” dan sejak saat itu pembangunan masjid ini terus diupayakan dengan semaksimal mungkin. Sesuai dengan perkiraan pertambahan jumlah jama’ah di Mukim Siem yang semakin hari semakin bertambah, maka masjid ini dibangun dengan luas lantai 1.918 m2, di mana diharapkan dapat menampung jama’ah sebanyak 2.740 orang.

Pembangunan kembali Masjid Siem ini dibagi dalam beberapa tahap dan tahap I dengan sub bidang pekerjaan fondasi dan sloof yang menghabiskan dana sebanyak Rp. 549.338.000,- (Lima ratus empat puluh sembilan juta tiga ratus tiga puluh delapan ribu rupiah). Dana Tahap I ini diperoleh dari berbagai sumber seperti Pemda NAD (Rp. 350.000.000), Pemda Aceh Besar, dan sumbangan umat Islam baik dalam maupun luar Mukim Siem, dan pekerjaannya telah rampung seluruhnya.

Selanjutnya Panitia Pembangunan terus berupaya semaksimal mungkin melanjutkan pembangunan Tahap II, yang meliputi 54 buah kolom petak 40 x 40 cm, volume 106,95 m3 dan 16 buah kolom bulat dia 80 cm, volume 30,50 m3, ring balok lantai dan plat lantai. Pekerjaan tahap ini memperoleh dana dari BRR, Pemda NAD, Pemda Aceh Besar, NGO Turkiye, sumbangan tidak mengikat dari beberapa LSM dan Shadaqah Jariyah Umat Islam dalam dan luar Mukim Siem. Alhamdulillah pekerjaan tahap II telah selesai dikerjakan dengan total anggaran Rp. 2.132.957.000,- (Dua miliar seratus tiga puluh dua juta sembilan ratus lima puluh tujuh ribu rupiah).

Leubeh Saheh....

Meucheukot Bhah Atjeh

Aceh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Aceh, yang sejak tahun 1500, sudah berdiri sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya sebagai pembina peradaban bangsa-bangsa di kawasan Dunia Melayu; pola dan sistem pendidikan militer yang mampu memompa semangat heroisme dan patriotisme tidak terkecuali kaum wanitanya; komitmennya dalam menentang setiap bentuk dan kaedah kolonialisme-imperialisme, kapitalisme; sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik; mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan tentang ilmu duniawi dan ukhrawi; kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, hingga kemudian disadari oleh ahli sejarah dunia bahwa apa yang telah diperankan oleh bangsa Acheh dapat diteladani oleh bangsa dan negara manapun di dunia ini.

Memang benar, sejak tahun 1411, Aceh telah membina hubungan dagang dengan negeri Cina semasa dynasti Ming. Untuk melihat adanya bukti kukuh mengenai hubungan kedua negara, dapat disaksikan lonceng “TJAKRA DONYA” sebagai cenderamata dari Cina, yang kini ditempatkan depan pintu gerbang museum di Bandar Acheh.
Sebelum terjadi hubungan diplomatik antara Cina dengan Aceh, pernah terjadi peperangan antara kedua negara. Pada waktu itu pasukan tentara Laut Cina dipimpin oleh seorang Wanita muda bernama Nio Nian Lingké, atau yang lebih dikenali sebagai Putroe Nèng. Nio Nian Lingkè, yang juga dikenal sebagai seorang ahli sihir ini pada awalnya berhasil menguasai beberapa Mukim di Acheh, akan tetapi kemudian pasukannya dikalahkan oleh tentara Acheh yang dipimpin oleh panglima perang Johansyah. Difahamkan bahwa Putroe Néng ini akhimya masuk Islam dan menikah dengan Johansyah. Peristiwa ini berlaku pada tahun 1400-an.
Kejayaan Aceh mencapai puncaknya pada abad ke-16-17. Untuk melihat bagaimana kemegahan itu, patut disimak ucapan Prof. Wilfred Cantwell Smith, dalam bukunya: Islam in Modem History, 1975, p.38, berkata: ‘Pada abad ke-16,‘Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali, kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam pada masa itu di Maroko, Istanbul, Isfahan, Agra dan Aceh - adalah pembina-pembina sejarah yang besar dan sangat berhasil”.
Ucapan Wilfred sangat beralasan sekali, sebab Aceh dalam sejarahnya telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis (yang ketika itu merupakan negara terkuat di dunia) dari Selat Melaka yang ingin menjarah ke seluruh kepulauan Melayu. Kejadian ini dilukiskan dalam LA GRAND ENCYCLOPEDIE bahwa: “Pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan kekuasaannya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa, Borneo dan lain-lain), atas sebagian dari Tanah Semenanjung Melayu, dan mempunyai hubungan dengan segala bangsa yang melayari Lautan Hindia, dari Jepang sampai ke Arab. Sejarah peperangan yang lama sekali dilancarkan oleh bangsa Aceh terhadap bangsa Portugis yang menduduki Melaka sejak permulaan abad 16, adalah halaman-halaman yang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sejarah bangsa Acheh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Aceh menyerang Portugis di Melaka dengan sebuah Armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.”
Serangan ini adalah dalam upaya membela maruah, mempertahankan kedudukan dan wibawa bangsa-bangsa Melayu baik di Sumatera maupun di Semenanjung. Diketahui bahwa antara tahun 1547,1568,1579,1586 dan 1629 adalah merupakan masa-masa yang sangat kritikal dalam usaha menentukan siapa pemenang dalam perang panjang dan melelahkan itu. Panglima perang Portugis, Diego Lopez de Fonesco, telah berhasil dibunuh oleh pasukan elite tentara Aceh. Benteng pertahanan Portugis, Gereja Sint John, yang oleh Melayu lebih dikenali sebagai Sang Yoang dan Gereja Madre de Dios, telah sepenuhnya dikuasai. Benteng pertahanan terakhir ialah Gereja Sint Paul Hill, atau lebih tenar dengan sebutan “Formosa” (yang menang). Dalam benteng ini Portugis terkurung dan bertahan. Kota Melaka selama 5 bulan sudah berada dalam genggaman tentara Acheh. Bagaimanapun ketika itu Portugis berhasil mengirim kurirnya untuk meminta bantuan dari Sultan Pahang. Akhimya tentara Pahang berkomplot dengan Portugis menyerang tentara Acheh melalui laut. Kapal-kapal perang Aceh di pantai dibakar oleh tentara Pahang-Portugis, hingga peperangan ini terjadi satu lawan satu.

Untuk dimaklumi bahwa: “sekutu yang amat diandalkan Portugis pada waktu itu ialah Sultan Pahang. Pahang yang dahulu pernah diserang dan ditakluki oleh Acheh, tidak merasa senang jika Acheh menguasai tanah Melayu. Portugis bagi Pahang adalah sandaran kuat, sebagaimana Belanda jadi saudara Johor, dan sewaktu-waktu Pahang dan Johor pernah diperintah oleh satu Sultan”. Prof. Dr. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, 1981, hlm 177, Pustaka Kuala Lumpur.

Tidak lama kemudian datang pula tambahan kekuatan tentara upahan Portugis dari Johor, Jawa, Goa dan India. Kemenangan dan kekalahan silih berganti antara dua kekuatan ini. Itulah sebabnya Portugis menyebut Gereja Sint de Hill sebagai “Formosa”. Alkisah menceritakan bahwa, Melaka pada akhimya takluk kepada Portugis sampai tahun 1641, sementara Aceh Sumatera selamat dari penjajahan Portugis. Terlalu mahal harganya bangsa Aceh membayar untuk mempertahankan maruah bangsa Melayu, khususnya di Semenanjung. Sebab jika tulang-belulang 60.000 tentara Aceh dijadikan tiang, maka ianya dapat memagari seluruh pantai Semenanjung tanah Melayu.
Riwayat seterusnya mengisahkan bahwa, ketika pasukan Belanda melakukan kudeta kepada Sultan Acheh, yang dipimpin oleh Comelis de Houtman dan Frederick de Houtman pada tahun 1599. Tentara Aceh ketika itu dapat melumpuhkan kekuatan armada Belanda dan Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) yang berkuasa ketika itu, telah menjatuhkan hukuman bunuh kepada Comelis de Houtman yang dieksekusi langsung oleh Laksamana Malahayati dengan rencongnya sendiri, sementara saudaranya, Frederick de Houtman ditawan beserta dengan seluruh anak buahnya sebagai tahanan perang, yang masing-masing dijatuhi hukuman selama sepuluh tahun. Baca “Oede Glorie”, karangan Marie C. Van Zegelen.
Kejadian ini dilaporkan Sultan Aceh kepada Kerajaan Belanda. Sehubungan dengan peristiwa itu Kerajaan Belanda telah mengirim surat permintaan ma’af secara resmi. Dalam kasus ini, Sultan Aceh telah berlaku arif dan bijaksana dengan membebaskan dan semua tahanan pulang dan diserahkan oleh Tengku Abdul Hamid, Duta besar Aceh di negeri Belanda.
Selain daripada itu, dalam sejarahnya Aceh memberi kebenaran kepada kapal-kapal dagang dan perang Perancis yang dipimpin oleh Panglima perang Beaulieu, untuk menggunakan Pelabuhan Aceh sebagai pangkalan untuk memperbaiki kapal-kapal yang rusak.
Dalam lapangan diplomatik dan perdagangan, Aceh juga telah mencatat sejarah yang sangat penting, sebab Sultan Alaudin Riayat Shah (1588-1604) menyadari akan arti pentingnya kedudukan dan peranan Selat Melaka sebagai satu-satunya lintasan dagang yang paling ramai di dunia. Maka Kerajaan Aceh telah membuat perjanjian mengenai: Jaminan Keamanan, Cukai dan Peraturan Lalu Lintas Dagang di Selat Melaka, dengan Kerajaan Inggeris, pada tahun 1603. Perjanjian tersebut telah diperbaharui kembali tahun 1819, atas pertimbangan politik dan ekonomi pada kurun masa itu yang lebih menekankan kepada pertahanan keamanan di Selat Melaka. Ini suatu petunjuk bahwa Kerajaan Aceh mempunyai pengaruh dan peranan dalam menentukan strategi ekonomi dan militer di Selat Melaka, sebab diketahui bahwa Sumatera sebenarnya sangat mahal nilainya berbanding pulau-pulau lain di kawasan Dunia Melayu. Untuk melihat bagaimana kuasa Aceh pada masa itu terbukti bahwa ketika Belanda ingin membuka Konsulatnya di Padang Minangkabau, Belanda mesti meminta izin dari Sultan Aceh.
Seperti telah ditulis oleh seorang ahli sejarah Perancis bahwa: “Pada abad ke 17, Sultan Acehlah yang berdaulat atas seluruh pulau Sumatera dan tidak ada sanggahan atas kenyataan itu dari pihak manapun juga. Aceh tidak memerintah langsung seluruh Sumatera tetapi yang diperintah langsung ialah tepi pantainya dan perdagangannya. Menurut Beaulieu, Aceh memerintah langsung separuh pulau Sumatera dan yang terkaya yang lain di bawah kerajaan-kerajaan yang dilindungi Aceh. Dan di Semenanjung Tanah Melayu kerajaan dibawah lindungan Aceh ialah Kedah, Pahang dan Perak”. Denys Lombard, Le Sultanat d‘Atjèh au Temp d’Iskandar Muda, p.98.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan Ilmu Agama, Aceh telah melahirkan beberapa Ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti:

Hamzah Pansuri (1575-1625) dalam bukunya “TABYAN FI-MARIFATI AL-U ADYAN”,

Syamsuddin al Sumatrani (1630) dalam bukunya “MI’RAJ al-MUHAKIKIN AL-IMAN=

Nuruddin Arraniry (1658) dalam bukunya “SIRAT AL-MUSTAQIM- BURTANUS AL-SALATIN”;

Syeh Abdul Rauf Singkili (1693) dalam bukunya “MI’RAJ AL TULABB FI FASHIL”,

“MA’RIFAT AL-AHKAM ‘ASH-SHAYYAH LI MALI AL WAHAB” DAN “UMDAT AL MUHTAJlM’“’




Pada masa itu bangsa-bangsa di kawasan dunia Melayu telah memakai perundang undangan Aceh -Qanun Al Asyi / Qanun Meukuta Alam- di Brunei Darussalam dan di Kerajaan Melayu Borneo. Antara Aceh dengan bangsa Melayu yang lain saling mempunyai ikatan kultural, agama dan adat-istiadat. Kerukunan antara sesama serumpun begitu mesra dan harmoni, khususnya antara Aceh dengan Semenanjung Malaysia, apalagi: “setelah dinobatkannya Iskandar Sani (Putra Raja Pahang yang diambil menantu oleh Iskandar Muda) menjadi Sultan Aceh sesudah mangkat Iskandar Muda (1636) membuatnya menjadi simbol yang hidup dari kerukunan antara Aceh dengan Semenanjung Tanah Melayu yang sangat menguatkan silaturrahim antara Aceh dengan Raja-raja Tanah Melayu. Pada tahun 1638/1639, menurut Kitab Bustanus-Salatin, Iskandar Sani mengirim Armada besar bukan untuk berperang tetapi untuk membawa batu-batu nisan dari pualam berukir yang dibuat di Aceh untuk menghiasi makam-makam/kuburan Ayahanda/ibunda dan keluarga di Pahang. Perintah Sultan Iskandar Sani kepada armada Aceh: ‘Pergilah ke Pahang dan hiasilah makam Ayahanda/ibunda kami dan kerabat dengan batu-batu nisan itu diangkut dengan arak-arakan megah sepanjang jalan, diiringi oleh pasukan musik di bawah ratusan payung dan kibaran bendera Acheh. Perarakan itu memakan masa berbulan dalam perjalanan.
Selama masa Iskandar Sani, hubungan Aceh dengan Semenanjung Tanah Melayu amat harmonis sekali dan tidak pernah dikirim tentara dan armada untuk mengamankannya. Hubungan baik antara Tanah Melayu dengan Aceh yang dijalin semasa Iskandar Sani kekal beberapa abad lamanya” Denys Lombard. Le Sultanat d’Atjèh au Temp d’Iskandar Muda p.94.
Sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat, Aceh selalu dipandang oleh bangsa asing khususnya Inggeris dan Belanda yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi di Sumatera- tetap memelihara hubungan baik dengan kerajaan Aceh. Hal ini ditandai dari isi Traktat London, tahun 1824 yang antara lain menyebut : Belanda dan Inggeris tetap tidak akan mengganggu gugat kedudukan Aceh di Sumatera dan hubungan baik selama ini terbina dengan baik
Akan tetapi formula traktat London, 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Aceh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Aceh.
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk kepada Belanda. Karena itu Sultan Aceh menjawabnya dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Aceh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Aceh dan hasil bumi Deli hanya dapat diperjual belikan antara Sultan Deli dengan Belanda.
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (Jawa), sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan tetapi para penasehat militer dan sipil Belanda melarang, kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi. Memperluas wilayah kekuasaan, sama artinya dengan menambah runyam dan dapat menghancur masa depan kita di wilayah Hindia Timur”.
Bahkan Multatuli sempat mengirim surat kepada Raja Belanda, katanya: “Gubernur-Jenderal dan Paduka yang Maha mulia sudah siap sedia, pada saat ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh, dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diada-adakan, paling banyak atas dasar yang tidak benar yang dikarang-karang, sebagai ‘provokasi’ semata-mata. Pernyataan perang atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan Acheh dan merampok segala harta pusakanya. Paduka Yang Mulia, ini adalah perbuatan yang tidak membalas budi, yang tidak bersifat mulia, yang tidak mempunyai kehormatan, dan yang tidak patut” October, 1872 (Paul Van ‘t Veer, Atjéh Oorlog, p 39.
Untuk meluluskan niatnya, Belanda mengajak Inggeris untuk menanda tangani suatu perjanjian dengan Inggeris yang isinya:” bekas jajahan Belanda di Afrika (Gold Coast -sekarang Ghana) diserah kepada Inggeris dan jajahan Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda”. Untuk mengusasi seluruh Sumatera jika perlu Belanda akan, memerangi Aceh. Perjanjian ini ditanda tangani tahun 1871. Ketika itu seorang anggota Parlemen Inggeris Lord Standley Aderley, seorang bangsawan Inggeris telah membantah dan menolak isi perjanjian itu. Katanya: “Belanda tidak mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Acheh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Negara Acheh, dan digagalkan. Kejatuhan Acheh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara; kekecewaan besar akan dirasa oleh warga Inggeris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang Melayu di Malaysia yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggeris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan Negara Inggeris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan -Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji’- sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggeris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Acheh, sebab Negara Acheh berhak mengharap kita tidak melupakan kemerdekaannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Acheh sudah menjadi suatu Negara merdeka ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol”
Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota Parlemen Inggeris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Acheh melawan Belanda, seperti: Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Katanya: “Perjanjian Belanda-Inggeris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggeris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Acheh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu” (THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)
Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Acheh-Inggeris yang sudah dikhianati itu: “Dikatakan bahwa Inggeris adalah neutral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Aceh. Jadi Inggeris bukan saja tidak membantu Aceh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Aceh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Aceh. Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.
“Dalam kenyataan ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalahsudah jelas bahwa. Inggeris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Acheh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.
Belanda beranggapan bahwa bangsa Aceh mempunyai mentalitas yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu, dan tetap akan memerangi Aceh, sebab satu-satunya bangsa di Sumatera yang tidak pemah menjadi bahagian dari Nederland East Indie kini mesti ditakluki. Maka pada 26 Maret, 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Batavia (Jawa), menyatakan Perang kepada Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:

Acheh menyerah kalah dengan tanpa syarat;

Turunkan Bendera negara Acheh dan kibarkan benderra Belanda warna merah, putih biru;

Hentikan perbuatan melanun di Selat Melaka;

Serahkan kepada Belanda sebahagian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Acheh;

Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.

“Ultimatum” yang dihantar oleh Sumo Widigdjo ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Acheh, maka terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873.

Bagaimana peperangan itu terjadi, sudahpun ditulis oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut: “Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Negara Acheh. Bangsa Acheh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari”
Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis: “Suatu pertempuran berhunur darah sudah terjadi di Acheh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Acheh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur”
Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa: “Now the Achehnese aducation of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun”
Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Aceh melawan serdadu Belanda dalam perang Acheh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu Aceh memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16-17.
Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang dengan mengerahkan serdadu upahannya dari jawa, Madura, Sunda dan MaIuku, serta menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Perancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerah untuk mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh.
Setelah terjadinya perang priode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Acheh tahun 1942. Belanda keok di Aceh!
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah kedua negara.
Bagi Belanda segalanya sudah serba tidak menjadi. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan: “Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda” Paul Van ’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p. 10.
Bangsa Aceh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab bangsa Aceh memandang perang melawan Belanda sebagai perang suci - jihad fisabilillah - yang bermakna orang Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang diransang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya. Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Chik Kuta Karang, Panglima Nyak Makam, Tengku Meunasah Baroe ( Krueng Kalee Siem/generasi sebelum Tengku Hasan Krueng Kalee ),Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dan diikuit oleh famili di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhôt, Pidië, tahun 1911.
Perang terus merebak ke seluruh Acheh. Tengku Mata Ië bersama pasukannya berjuang di sektor Aceh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakông bersama pasukannya berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masém berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. Akhimya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Aceh dalam keadaan hina. Semestinya Acheh sudah merdeka. Akan tetapi bangsa Aceh sekali lagi harus berhadapan melawan penjajah Jepang. Pada tahun 1945, giliran Jepang pula angkat kaki dari bumi Aceh. Jadi Aceh otomatis sudah merdeka, apalagi Belanda, tidak pernah berani lagi masuk ke Acheh pada ketika itu walaupun seluruh wilayah Nederland East Indie” telah dikuasai kembali pada tahun 1946-1948. Keadaan di Acheh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. “sedudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan. Paul Van ‘t Veer. Perang Acheh, hal. 254.
Persoalannya sekarang. Mengapa penjajah Belanda begitu bernafsu terhadap Sumatera? Sehingga mereka berani mempertahukan segala-galanya? Jawabnya sudah tentu: “Saya tahu harganya Sumatera, dengan luas wilayahnya yang tak terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan kita dengan tiada batas sambil memperkuat kedudukan kita di daerah-daerah yang sudah kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara yang lebih menguntungkan kita lagi. “Jawa tenggelam dengan tidak berarti sama sekali jika dibanding dengan Sumatera, atau hal itu sebenarnya sudah terjadi sekarang juga…” Multatuli, 27 Februari, 1872.

INILAH HARGA SUMATERA. Akan tetapi seperti sudah dikatakan bahwa: harga SUMATERA bukan harga material semata-mata. “Harga Sumatera bukanlah ditentukan oleh berapa harga dari hasil kekayaan Sumatera, akan tetapi berapa harga yang berani kita bayar untuk membela dan mempertahankannya.”
Jadi, jika berbicara tentang Sumatera, maka kita tidak dapat mengetepikan dua faktor penting yaitu: faktor konstan dan faktor variable yang langsung berhubung kait dengan, keperluan dan kepentingan bangsa-bangsa Sumatera.
Pertama, faktor konstan dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera, yaitu: Bumi Sumatera dan Selat Melaka yang paling penting maknanya. Selat Melaka merupakan poros perdagangan penting yang menuntut perlu adanya kekuatan pertahanan keamanan dari ancaman musuh. Sumatera dan Selat Melaka selalu dipandang strategik dalam konteks politik, ekonomi dan pertahanan, lebih daripada itu ialah untuk menjaga kepentingan nasional bangsa-bangsa Sumatera dan di Semenanjung, sehingga pada akhirnya menjadi suatu dunia yang selamat dan harmoni.
Faktor variable dalam kehidupan bangsa-bangsa Sumatera ialah: semua konsep yang datang dari luar, seperti:.* “cultural imperialism”, capitalism”, colonialism”, “salvation”, “paganism”, “democratic way of life“, “Christian” yang telah mempengaruhi dan mengancam nilai-nilai peradaban kultural dan keagamaan bangsa-bangsa Sumatera. Secara mendetil tidak mungkin saya bahas disini


Era Malik Al Saleh

Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dengan tahun 1385 M-1923 M, ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur, di dunia bagian Asia, telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yang berada di wilayah Aceh yang didirikan oleh Mara Silu yang segera berganti nama setelah masuk Islam dengan nama Malik Al Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dimana penggantinya tidak jelas, namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir, cucu daripada Malik Al Saleh.

Lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai

Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dengan rajanya yang pertama Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerahnya makin luas, setelah daerah dan kerajaan Melayu, Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatannya, ternyata mengundang raja Rajendrachola dari Cholamandala di India selatan tidak bisa menahan nafsu serakahnya, maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Ternyata dinasti Syailendra ini tidak mampu menahan serangan tentara Hindu India selatan ini, raja Sriwijaya ditawannya dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan, tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah, muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dengan rajanya Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucunya Malik Al Zahir.

Politik Samudera Pasai bertentangan dengan Politik Gajah Mada

Gajah Mada yang diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331, naik pangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit yang diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan sumpah palapa yang berisikan "dia tidak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Ternyata dengan dasar sumpah palapanya inilah Gajah Mada merasa tidak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit menggempur Samudera Pasai dan mendudukinya. 27 tahun kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempurnya, sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara buddha yang berpusat di Palembang ini.

Era Sultan Iskandar Muda

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Aceh juga merupakan suku bangsa pertama di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi suku bangsa Adi Daya untuk wilayah regional Selat Malaka (Sumatra dan Semenanjung Melayu).
Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh lawan Portugis

Ketika kerajaan Islam Samudera-Pasai lemah setelah mendapat pukulan Majapahit dibawah Gajah Mada-nya, maka Kerajaan Islam Malaka yang muncul dibawah Paramisora (Paramesywara) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya oleh SultAceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masanya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.


Hubungan dengan Barat

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.

(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.

Ottoman

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.


Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Pasca-Sultan Iskandar Thani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.


Perang Aceh


Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:

1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak, maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Sinagpura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris, karena memang Belanda bersalah.
4. Di bukanya terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalulintas perdagangan.
5. Dibuatnya Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia, Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.

Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Alaiddin Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.

Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:

1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan Meunasah, Masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.

Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah akhirnya bernegosiasi dengan Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marsouse yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menemui Belanda pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan bernegosiasi. Van Der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polem meletakkan senjata dan bernegosiasi dengan Belanda di Lhoek Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem berdamai dengan Belanda, banyak penghulu-penghulu rakyat yang mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.



Bangkitnya nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam, sebuah organisasi dagang Islam yang didirikan di Surakarta pada tahun 1912, tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939, Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabangnya di Aceh, menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda.

Perang Dunia II

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lainnya, rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942, karena Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tidak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang untuk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama, dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah, termasuk di Bayu, dekat Lhokseumawe, pada tahun 1942, yang dipimpin Teungku Abdul Jalil, dan di Pandrah, Jeunieb, pada tahun 1944.

Masa Republik Indonesia

Apakah Aceh Termasuk Anggota Negara-Negara Bagian RIS atau tidak…..?
41 tahun kemudian semenjak selesainya perang Aceh, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan untuk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai, sebelum Van Mook menciptakan negara-negara bonekanya yang tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tidak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yang meliputi seluruh Indonesia yaitu yang terdiri dari:

1. Negara RI, yang meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur, termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri, seperti Jawa Tengah, Bangka-Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian

Yang terpilih menjadi Presiden RIS adalah Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang untuk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.

Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh?

Belanda dibawah Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangannya pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangannya pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara RI, 1986)

Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dengan persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu, beberapa negara bagian menggabungkan ke RI, sehingga pada tanggal 5 April 1950 yang tinggal hanya tiga negara bagian yaitu, RI, NST (Negara Sumatera Timur), dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya untuk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh

3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI, Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.

Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.

Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja:

1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage, merusakkan harta vitaal, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dengan hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.

Negara Islam Indonesia

Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.

MUHARRAM 1373

Atjeh Darussalam

September 1953

Desember 1962, Daud Beureueh kembali ke pangkuan Ibu pertiwi

Bulan Desember 1962, 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha, Daud Beureueh di Aceh kembali ke pangkuan Ibu pertiwi, kemudian diadakanlah "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)


Leubeh Saheh....