Kamis, 22 Oktober 2009

KERAJAAN LAMURI (ACEH RAYEUK/ACEH LHEE SAGOE)

Data tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat sementara karena keterbatasan data yang diperoleh
Secara umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar, seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab, India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.

Data tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt, seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas dari pantai hingga ke daerah pedalaman.

Menurut Said, (1961 : 33-34) Lamuri letaknya di Aceh Besar sekarang. Tentang nama Lamuri banyak ejaannya, ada Lambri sebagaimana di sebut oleh Marco Pol lo. Ada Ramini, Ramni atau Lameri, sebagaimana disebut oleh orang- orang Arab. Sejarah melayupun menyebut Lamuri. Orang Tionghoa menyebutnya Lan-li, Lan-wuli, Nan-wuli dan Nanpoli. Menurut In Khordadzbeh (meningga tahun 885) menyebut pula Rami dimana didapati binatang badak, letaknya Sailan, penghasil kemenyan. Saudagar Sulayman (th.851) mencerita perlawatannya lewat lautan India dalam ”Silsilah-al Tawarrikh”, bahwa pulau yang dikunjunginya dibagian ini bernama Ramni. Abu Zayd Hasan (th.916) menyebut Rami, dan juga menceritakan tentang kemenyan dan kapur barus. Mas’udi (meninggal tahun 945) menulis lebih banyak, dia menyebutnya Al-Ramin, dimana didapati tambang emas dan letaknya dekat pulau Fansur yang masyur dengan kapurnya. Seorang muslim parsi bernama Bozorg (955) takkala menunjuk Sriwijaya menyebut letaknya diselatan Lameri. Menurut Bozorg, dari pantai Barus dapat dilakukan perjalanan lewat darat ke Lameri. Ini berarti bahwa masa Sriwijaya, Lameri Aceh sudah berdiri.

Disamping itu menurut Yuanzhi, (2000: 96) pada musim dingin tahun Yong Le ke- 11 (tahun 1413) armanda Ceng Ho berlayar ke Samudra Barat untuk ke empat kalinya. Armadanya mula-mula ke Campa, kemudian berturut-turut berkunjung ke Jawa, Palembang Malaka, Aceh dan sebagainya.
Disamping itu Yuanzhi, (2000: 115) menambahkan , bila bertolak dari Kerajaan Pasai menuju ke sebelah barat, kapal akan sampai di Kerajaan Lambri(Lamuri) setelah berlayar 3 hari 3 malam di bawah angin buritan. Baik sang raja maupun rakyatnya muslim. Di sebelah barat dan utaranya menghadap laut luas. Di sebelah selatannya adalah gunung. Sebelah timurnya berbatasan dengan Kerajaan Lide.

Menurut Zainuddin,(1961: 23) setelah lebih kurang 400 Masehi dan sesudah kedatangan portugis, nama Lambri tak pernah disebut-sebut lagi, melainkan Achem (Atjeh). Orang Portugis dan Italia biasanya mengatakan Achem, Achen dan orang Arab menyebutkan lagi : Asji, atau juga Dachem, dagin, Dacin. Penulis-penulis Perancis mengatakan: Achem, Achen, Achin, Acheh, orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin, Acheh, orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjim, Atsjeh dan akhirnya Atjeh. Orang Atjeh sendiri mengatakan ”Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut dalam tarikh Melayu. Undang-undang melayu, di dalam surat – surat Atjeh lama ( sarakata ) dan pada mata-mata uang Atjeh, emas(dirham), uang timah (keueh) Atjeh dan sebagainya di sebut Atjeh.

Menurut T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M. Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun 943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.

Menurut Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti Kerajaan Chola.

Berdasarkan sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.

Menurut Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan Makota Alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta dengan Kerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamian, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.

2. Silsilah

(Masih dalam proses pengumpulan data)

3. Periode Pemerintahan

Kesultanan Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.

4. Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

5. Struktur Pemerintahan

Struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini memiliki pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim (kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan penguasa yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).

6. Kehidupan Sosial-Budaya

Kesultanan Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak. Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara keseluruhan.

(Rampagoe B@ng Dj)

Sumber:

* A.Rani Usman “Kerajaan Lamuri”, Sejarah Peradaban Aceh : Yayasan Obor Indonesia, 2003.
* “Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses tanggal 15 Desember 2007.
* “Pariwisata Nangroe Aceh Darussalam”, dalam http://www.tamanmini.com/anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh,
* Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Leubeh Saheh....

Rabu, 14 Oktober 2009

MUSIC ETNIC ACEH

1. DALAIL KHAIRAT(KHASIDAH BURDAH)
2. NYAWONG - SALEUM
3. CUPA BAND - SALEUM
4. CUPA BAND – ILAHI
5. LIZA AULIA – KEUNEUBAH
6. BIJEEH – THOE KREENG
7. RAJAWALI BAND – TAREK PUKAT
8. SANGGAR SEULAWET IAIN AR-RANIRY - AWALUDDIN
9. RAKET
10. CUPA BAND TAUBAT
11. IMUM JHOEN – LAILAHAILLALLAH
12.BIJEH – TROEH BAK WATE
13. NYAWONG – PANGLIMA PRANG
14. NYAWONG – UNTONG KAMOE NYOE
15. NYAWONG – HARO HARA
16. BIJEH – GEULUMBANG RAYA
18. SAED JAYA - KAPALO
19. KANDE BAND - MEUKOENDROE
20. RAKET – GOH MAHEE
21. CUPA BAND – DO’A
22. RAFLI – SUKEE 300
23. NYAWOENG(CUT AJA) – DODA IDIE
24. KANDE BAND - MUMANG
25. Raket - Meusigak
26. CUPA BAND - BUNGONG
27. IMUM JHON(SARJANI)- LAILAHAILLALLAH
28. IMUM JHON(SARJANI)- HITAM_PUTIH_BAK_MATA
29. INSTRUMEN MON HAYATI(RAFLI)
30. Cut Yusmiati-Aceh Ujong_Sumatra
31. Cut Yusmiati-Loen Jk Wisata
32. Cut Yusmiati-Meuheut Loen Peugah
33. RAMLAN_YAHYA-Aneuk_Loen_Sayang
34. RAMLAN YAHYA-REINA
35. RAMLAN YAHYA_BUNGOENG_DUSON
36. RAFLI – DAMEE ACEH
37.
Pada manyat beliau ditemukan Ajimat ( Ubat Keubai ) berupa Rante Bui, Aneuk Beude ( Peluru ) dan Ulat Jeut. Ajimat ini ( Ubat Keubai ) merupakan batuan (fosil) yang terbentuk dalam rongga mulut babi hutan tertentu, ( babi kurus yang suka menyendiri dengan jalan terseok – seok ). Untuk memperoleh Rante Bui biasanya babi hutan tersebut ‘dipancing’ dengan setumpuk Keureumeuh “ Ampas Kelapa”. Babi tersebut menyimpan rantai tersebut di tempat tersembunyi sebelum memakan Ampas Kelapa yang diletakkan oleh orang yang hendak mengambil rantai tersebut .
Ajimat tersebut kini tersimpan di Koloniaal Musium, Amsterdam Belanda. Pada umumnya para pejuang Atjeh banyak memakai Ajimat dan Mengamalkan Isiem ( Mantra ) untuk ilmu kebal dalam rangka menghadapi tentara Belanda ( Marsose ) yang dikenal cukup kejam dan sebahagian besar personilnya merupakan tentara yang di rengkrut dari tanah Jawa dan Ambon. ( Rampagoe B@ng Dj )


Leubeh Saheh....

SURAT SURAT SULTAN ATJEH DARUSSALAM

"Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang".

Demikian mukadimah surat yang ditulis Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris James pada tahun 1615 silam. Duplikatnya dapat dihihat perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.

Surat berbahasa Melayu dengan aksara Jawi ini disebut memiliki hiasan tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli ini ditulis dengan tinta warna emas di atas kertas oriental.

Dari surat yang tiga perempat isinya melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan dan keluasan wilayah kekuasaannya, jelas terekam kemegahan Kerajaan Aceh. Dan di bawah kekuasaan sultan yang berjuluk Sultan Perkasa Alam ini, Kerajaan Aceh memang mencapai puncak kejayaannya.

Disebutkan Prof Anthony Reid, sejarawan terkemuka, yang banyak menulis buku tentang Aceh dari National University of Singapore, sepanjang abad 16 hingga awal abad ke-19, Aceh telah memiliki hubungan diplomatik yang luas, sesuatu yang jarang dimiliki oleh sebuah kerajaan kepulauan.

"Aliansi luar biasa ini, pertama-tama merupakan hasil dari perdagangan lada yang secara langsung menghubungkan Aceh ke Laut Merah untuk menyaingi kapal lada bangsa Portugis di sekitar Afrika. Aliansi ini juga dalam rangka menggalang kekuatan sekutu-sekutu kaum muslim guna melakukan perlawanan militer dan keagamaan menentang Portugis," jelas Prof.Anthony Reid dalam pengantarnya di katalog pameran.

Aliansi ini berdasarkan surat-surat diplomatik, dibalas Turki dengan mengirimkan beberapa meriam besarnya ke Aceh. Meriam-meriam itu sendiri kini disimpan sebagai 'tanda mata perang' di Museum Bronbeek, Belanda.

Ditambahkannya, kebangkitan Aceh, salah satunya dipicu oleh rasa ketidaksukaan banyak saudagar muslim dan saudagar lainnya terhadap campur tangan Portugis pada urusan kerajaan mereka. Salah satunya adalah surat yang berbahasa Arab, besar kemungkinan adalah teks asli. Sayang, dokumen yang lain hanya tersedia dalam terjemah Portugis.


Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari utara matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam RajaJames.


Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Nusantara pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Ottoman
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.


Pasca-Sultan Iskandar Tsani

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96 orang, 1/4 di antaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Datangnya pihak kolonial

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditanda tangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Perang Aceh

Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh. Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu, Menteri Perang Belanda, Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut.
Pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan.

Tradisi dayah (pesantren) di Aceh sudah sangat tua. Bahkan mungkin sama tuanya dengan proses penyebaran agama Islam di Aceh itu sendiri. Tercatat, ulama dayah di Aceh adalah peletak dasar sendi agama Islam di Aceh.
Hal itu bisa dirunut dari keberadaan dayah sebagai pusat pendidikan yang sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Islam Peurlak, Kerajaan Samudera Pasai, hingga masa Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Selain itu, dayah juga menjadi tempat untuk menjaga manuskrip dan kitab-kitab kuno yang langka. Misalnya di Zauyah Tanoh Abee, Aceh Besar, yang menyimpan sekitar 4.000 manuskrip. Berbagai macam kitab kuno tulisan tangan karangan ulama Aceh maupun sejumlah ulama dari luar Aceh menjadi koleksi pesantren ini.
Semasa Perang Atjeh, ribuan manuskrip dan kitab kuno ini sempat tersebar di berbagai pelosok Aceh. Manuskrip itu sengaja disembunyikan di rumah- rumah penduduk karena, saat itu, pemimpin Zauyah Tanoh Abee adalah penasihat Perang Atjeh yang diburu oleh Belanda.
Pascakemerdekaan, naskah kuno ini dikumpulkan kembali. Hingga kini terkoleksi cukup rapi di perpustakaan zauyah. Saat ribuan naskah kuno di sejumlah museum dan perpustakaan di Banda Aceh musnah akibat tsunami, koleksi manuskrip di Zauyah Tanoh Abee kian menemukan makna pentingnya.
Namun, perpustakaan kuno di Zauyah Tanoh Abee kini juga dihadapkan pada masalah biaya perawatan manuskrip. Akibatnya, banyak yang telah rusak karena dimakan waktu. Sebagian manuskrip juga telah luntur tintanya, tanpa sempat disalin atau dibuat mikrofilm-nya.
”Kami sekarang hanya bisa memberikan kapur barus untuk mempertahankan manuskrip ini. Tentu itu tidak cukup,” kata Tengku M Dahlan Al Fairussi Al Baghdadi (60), pemimpin generasi ke-9 di Zauyah Tanoh Abee.
Manuskrip kuno itu hingga kini masih menjadi kekayaan tersembunyi dari Zauyah Tanoh Abee, lantaran tak banyak yang memanfaatkan. ”Hanya ada sesekali peneliti dari luar negeri, seperti dari Malaysia dan Arab yang datang kemari. Suasana Aceh tak kondusif, tak banyak yang berani datang hingga ke pedalaman,” katanya.
Mengejar ketertinggalan
Kini, di tengah kondisi semacam itu, sebagian dayah mulai mencoba mengejar ketertinggalan dari laju modernitas dengan memasukkan peranti komputer. Sebagian memang hanya menjadikan komputer untuk mempermudah penyusunan administrasi kantor. Namun, sebagian mulai mengajarkan komputer sebagai bagian dari pengajaran.
Bahkan, Dayah Samalanga mulai merintis mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Agama, setelah sebelumnya mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Dan, ijazah sekolah tinggi dari Dayah Samalanga bisa digunakan untuk melanjutkan kuliah di IAIN Ar Raniry di Banda Aceh.
Sungguhpun begitu, arus informasi melalui berbagai media elektronik, seperti televisi, radio, dan internet di satu sisi masih disikapi sebagai momok bagi sebagian kalangan dayah. Kegelisahan seperti ini seolah menjadi pemicu semangat santri dan ulama dayah untuk kembali menegakkan fungsi dan peran dayah seperti pada masa kejayaannya dulu.
Mereka rata-rata mengaku tidak antimodernitas, namun tetap selektif untuk menyentuh produk-produk modernisasi itu. Tak heran jika banyak santri yang menggunakan telepon genggam dan memakai komputer. Tapi, jangan harap ada televisi di dayah. Salah satu ikon modernitas itu seolah menjadi barang haram di dayah.
”Televisi itu sumber kemungkaran, program-program yang disajikan di sana lebih banyak mudharat,” kata Tgk Ilyas, salah seorang santri muda Pesantren Tauthiatut Thullab. ”Para santri dilarang keras menonton televisi,” lanjut Ilyas.
Para ulama dan santri dayah kini memang seperti menghadapi suatu dilema. Mereka secara langsung berhadapan dengan modernitas, tetapi cara pandang mereka masih tradisional. Sampai kapan mereka akan bertahan?

Dari waktu ke waktu

Peran dayah dalam perjalanannya tidak hanya sebatas lembaga pendidikan keagamaan. Dayah juga menyentuh ranah sosial politik, bahkan lebih jauh menjadi tempat berlindung,dan menggembleng diri.
Pada masa Perang Atjeh, dayah malah sebagai tempat menyusun strategi. Sebagian dayah juga menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zauyah. Salah satu di antaranya adalah Zauyah Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tercatat pada masanya, dayah sanggup melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah. Salah seorang di antaranya adalah Tgk H Syeh Abdul Wahab yang menganut Tarekat Syathariah dan merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah pimpinan generasi kelima Zauyah Tgk Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh, seperti diutarakan Tgk M Dahlan Al Fairussi yang kini menjadi pimpinan generasi kesembilan di zauyah tersebut.
Menurut Ensiklopedi Agama Islam (Departemen Agama, 1993), tercatat bahwa dayah tertua di Aceh adalah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga Hijriah. Dayah tersebut menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang didatangkan dari Arab, Persia, dan India.
Menurut keterangan Tgk H Moch Dahlan, Cot Kala merupakan satu dari tiga zauyah, selain Zauyah Tanoh Abee pimpinannya dan Zauyah Bidal di Banda Aceh yang termasuk menjadi korban bencana tsunami pada akhir tahun 2004.
Setelah Cot Kala, generasi berikutnya adalah Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh Hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam yang berdarah Palestina.
Dalam periode yang sama berdiri dayah manyang (setara perguruan tinggi) yang berpusat di Masjid Baiturrahaman, Banda Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut, Jami’ Baiturrahman memiliki lebih dari 40 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India.
Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1.000 dayah/pesantren yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Pesantren-pesantren itu tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Namun, jumlah tersebut diakui tidak semuanya bisa dikategorikan dayah. Seperti dijelaskan oleh Tgk Taufik, Sekjen Thaliban (ikatan santri Aceh) Kota Banda Aceh, bahwa yang dikategorikan dayah adalah pesantren yang menyediakan pondokan atau bilik dan santri-santrinya menginap di sana. Sementara banyak balai-balai pengajian yang mungkin terkategorikan sebagai pesantren oleh Departemen Agama.
Jika pada masa kejayaan Islam dan masa konflik di Aceh peran aktif sosial politik dayah sangat kental, maka pada era setelah kemerdekaan peran dayah di kedua fungsi itu memudar. Kini, di era damai, dayah dihadapkan pada tugas berat untuk menjadi penjaga moral masyarakat yang tengah dihadapkan pada realitas budaya global.

Rampagoe B@ng Dj


Leubeh Saheh....

Kamis, 08 Oktober 2009

Ajimat Rante Bui

Dalam sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.


Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.

Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.

Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.

Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.

Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.

Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.

Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.

Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramay itu,” tulis Zentgraaff.

Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.

Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.

Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.

Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.

Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.

Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff. [Rampagoe B@ng Dj]
Leubeh Saheh....