Jumat, 15 April 2011

EKSISTENSI WANITA ACEH DALAM PERANG KOLONIAL BELANDA

EKSISTENSI WANITA ACEH DALAM PERANG KOLONIAL BELANDA
(Legitimasi Ideologis Bagi Srikandi dan Pasukan Inong Balee Masa Kini)

A. Pendahuluan
Peninggalan sejarah seringkali merupakan fragmen-fragmen lepas yang tidak memberikan gambaran yang lengkap akibat keterbatasan media yang ada di masa lalu. Itulah sebabnya, sebelum semuanya lenyap, kiranya perlu buku-buku yang lebih dekat, yang masih mempunyai saksi-saksi hidup, seperti peran wanita Aceh dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, keberanian dan kesatriaan wanita Aceh.
Setiap daerah mempunyai cerita khas yang mungkin tidak ditemukan di daerah lainnya. Sejarah Aceh, memberikan relatif banyak cerita khas tentang wanita Aceh, salah satu kekhasan itu adalah cerita tentang keterlibatan wanita dalam aktifitas pilitik praktis seperti sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan dan sebagai pimpinan dalam peperangan.

Peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan ditandai dengan bukti sejarah berupa batu nisan makam dari dua orang ratu. Bukti yang pertama adalah, tidak jauh dari ladang gas Arun, di kecamatan Matangkuli, desa Minye Tujoh, kabupaten Aceh Utara, ditemukan makam seorang ratu, Malikah Nur Ilah. Ratu Pasai ini, yang mangkat pada tahun 1380, tidak saja menjadi raja di Pasai, tetapi juga menguasai Kedah, yang terletak di seberang Selat Malaka, di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu. Jejak-jejak sejarah yang tersisa tentang ratu ini tidaklah banyak, kecuali dua batu nisan yang bertuliskan huruf Arab dan huruf Jawa Kuno ditempat peristirahatan terakhirnya.
Peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan yang kedua ditandai dengan bukti sejarah berupa batu nisan makam yang terbuat dari batu pualam yang terletak di Aceh Utara. Makam tersebut adalah makam Ratu Nahrasiyah (meninggal hari senin, 27 September 1428), dan merupakan makam Islam yang terindah di seluruh Asia Tenggara, yang hampir penuh dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an. Sayang sekali sumber sejarah mengenai Ratu ini amat langka. Walaupun memerintah lebih dari dua puluh tahun, namun Ratu ini tidak mengeluarkan mata uang sebagaimana lazimnya Raja-raja Pasai lainnya.
Puncak dari peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan adalah pada era empat orang suntanah (ratu) yang memerintah kerajaan Aceh selama hampir enam puluh tahun (1641-1699) secara berturut-turut. Ratu yang pertama adalah Sultanah Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675). Menurut -Profesor Kehormatan di Monash University- M. C. Ricklef, setelah Iskandar Tsani meninggal, kalangan elite Aceh menegakkan pengaruh dan kepentingan pribadi mereka dan mencegah munculnya penguasa penguasa kuat lainnya di Aceh sampai abad XIX. Mereka menempatkan janda Iskandar Tsani (putri Iskandar Muda) di atas tahta dengan gelar Ratu Taj al-Alam (1641 M.).
Sultanah yang kedua adalah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), sultanah yang ketiga Inayatsyah Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan sutanah yang terakhir Zainatuddin Syah (1688-1699). Masing-masing mereka telah mengeluarkan mata uang emas (deureuham) yang digunakan sebagai alat tukar yang sah. Wanita yang pernah menduduki jabatan uleebalang diantaranya adalah Cut Nyak Asiah di Aceh Utara, dan Pocut Baren di Aceh Barat.
Dalam lingkungan perjuangan di Aceh terdapat sederetan nama, baik yang sudah cukup terkenal maupun yang belum tercatat namanya dalam lembaran sejarah.
Diantara berbagai aktivitas wanita Indonesia -baik dalam bidang ekonomi, sosial, agama, pendidikan dan politik, aktivitas politik dan militerlah yang akan mendapatkan legitimasi dari para “Srikandi/Inong Balee/Ureung Inong” (wanita teladan Aceh) yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Untuk itu, yang diangkat menjadi fokus permasalahan adalah bagaimana peran para wanita Aceh baik yang janda ataupun yang mengikuti suami-suami mereka dengan mengembara dari satu tempat/hutan ke hutan yang lain, untuk sebuah perjuangan yang hasilnya waktu itu tak pernah pasti.
Perlawanan yang melibatkan banyak wanita adalah perlawanan terhadap kolonialis Belanda di Aceh (1873-1942). Laksamana Keumalahayati (±1530 - ±1607), Cut Nyak Dhien (1848-1909), Cut Nyak Meutia (1870-1910), Pocut Meurah Intan dan sejumlah nama lainnya adalah figur-figur terkemuka dalam rangka mencoba melawan dan mengusir bangsa asing –agresor yang telah merusak keharmonisan kehidupan dan jaringan perdagangan- dari kawasan Selat Malaka, yang pada akhirnya menjelma menjadi penjajah yang biadab.

B. Figur-Figur Wanita Pejuang Kemerdekaan
Menjelajahi sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme adalah menjumpai sejumlah wanita yang ikut aktif di dalamnya. Dalam perang yang berlangsung lebih dari enam puluh tahun itu pengaruh dan peranan wanita telah mengagumkan dan mengherankan pihak penjajah sendiri. Wanita Aceh tidak pernah ragu mempertaruhkan jiwa raganya dalam mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal kebangsaan dan keagamaan.

1. Laksamana Keumalahayati (±1530 - ±1607)
Sebelum kita melangkah jauh ke masa perang kolonia Benda, alangkah baiknya kita menyimak secuil sejarah perjuangan Laksamana Keumalahayati, sebagai latar belakang lahirnya pasukan Inong Balee yang bermula dari ide Keumlahayati agar para wanita janda dapat menuntut balas atas kematian suami mereka. Keumalahayati adalah figur wanita Aceh yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayatsyah al-Mukammil (1589-1604). Sebelum diangkat sebagai admiral, Keumalahayati pernah menjabat sebagai komandan/pemimpin pasukan ketentaraan wanita, yang anggotanya terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara kerajaan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati sendiri.
Pada awal abad ke-17, Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat, yakni kapal-kapal perang yang dimiliki armada lautnya dan pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya. Bermula dari ide Keumalahayati, dibentuklah sebuah pasukan wanita yang dinamakan Armada Inong Balee. Untuk kepentingan pasukan ini dan juga sebagai tempat pangkalan mereka, didirikan sebuah benteng Kuta Inong Balee (benteng wanita janda). Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumalahayati mengkordinasikan sejumlah pasukan laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar dan juga kapal-kapal jenis galey (kapal perang) milik kerajaan Aceh, yang berjumlah 100 buah kapal perang dengan kapasitas muatan 400-500 penumpang.
Kekuatan Keumalahayati sebagai laksamana sebagai laksamana mulai memasuki ujian berat ketika untuk pertama kalinya terjadi kontak antara Kerajaan Aceh dengan pihak Belanda. Dua buah kapal Belanda –yang dipimpin oleh dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman- berlabuh di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599 dan mendapat sambutan yang baik dari pihak Aceh. Namun, dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan seorang penerjemah Sultan, orang Portugis, mereka dibenci oleh Sultan. Pihak Aceh –yang dipimpin Laksamana Keumalahayati- kemudian melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda yang sedang berada di kapal mereka.
Dalam penyerangan itu Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh selama dua tahun. Menjelang tahun 1602 -untuk kesekian kalinya dengan armada yang berbeda- pedagang-pedagang Belanda yang dipimpin Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal tiba dia Aceh. Mereka sengaja datang atas perintah Pangeran Martunis dari negeri Belanda. Selanjuttnya, Sultan Aceh bersedia menerima mereka di istananya, dan memberi izin berdagang di Aceh serta Frederick de Houtman dibebaskan setelah pihak Belanda yang dipimpin Bicker berhasil meyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati.
Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi laksamana adalah pengiriman tiga utusan Aceh menghadap pangeran Martunis dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Pada bulan Juni 1906 orang-orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro datang menyerang Aceh. Keumalahayati bersama Darma Wangsa –yang nantinya akan bergelar Iskandar Muda- akhirnya berhasil mengusir Portugis.

2. Cut Nyak Dhien (1848-1909)
Cut Nyak Dhien adalah salah seorang dari sekian jumlah wanita yang aktif dan berperan dalam perang dengan Belanda pada tahun 1896 dan tahun-tahun berikutnya . Dalam catatan sejarah, Cut Nyak Dhien telah melaksanakan peranan-peranan yang biasanya hanya diperuntukkan atau dicadangkan untuk kalangan pria. Cut Nyak Dhien telah berjuang dalam masa yang cukup lama.
Pada saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh tahun 1873, Cut Nyak Dhien yang baru saja menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, juga dipanggil Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku di Bitai, mengikhlaskan dan memberikan dorongan serta semangat juang bagi suaminya untuk ikut berperang menghadapi pihak Belanda bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya. Pada tanggal 29 Juni 1878, dalam pertempuran di lembah Beuradeun Glee Taron, kemukiman montasik, Sagi XXV Mukim, Teuku Ibrahim, suami Cut Nyak Dhien, dan beberapa pengikutnya gugur.
Pada tahun 1878 itu juga, beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien (berusia ± 30 tahun) menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Cut Nyak Dhien terpikat karena Teuku Umar terkenal dengan keperkasaannya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda dan keberhasilannya menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan Teuku Ibrahim Lamnga. Setelah Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien membuat siasat berpura-pura menyerah kepada Belanda -mereka mendapat berbagai fasilitas- pada tanggal 29 Maret 1896 Teuku Umar bersama para pengikutnya membelot kembali dan melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda.
Akibatnya, pihak Belanda marah dan menyatakan perang kepada Teuku Umar -bukan kepada Aceh- dan tertutupnya peluang bagi Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien untuk tetap tinggal di wilayahnya. Bersama-sama dengan rekan-rekan seperjuangannya yang setia, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien meneruskan perjalanannya dari rimba ke rimba dan dari jurang ke jurang. Kadang kala, mereka terpaksa meninggalkan Cut Nyak Dhien di hutan yang aman untuk mencoba menyerang Belanda. Pada tanggal 11 Februari 1899, dalam sebuah pertempuran di Suak Ujung Kalak Meulaboh, Teuku Umar syahid tertembak oleh militer Belanda.
Setelah Teuku Umar meninggal, ia memilih melajutkan perjuangan dengan hidup di dalam rimba (± selama 6 tahun), daripada menyerah pada Belanda yang terus-menerus mengejar dirinya dan rombongannya. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien adalah warisan dari ayahnya -Teuku Nanta Setia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim- yang merupakan salah seorang pejuang dalam menentang kolonialis Belanda.
Sifat kepahlawanan tampak begitu dominan ketika pada saat Cut Nyak Dhien mengambil alih pimpinan perang segera setelah setelah kedua suaminya syahid. Perjuangannya baru berakhir setelah ia ditangkap Belanda. Dalam kesehatannya yang terganggu, matanya yang rabun, ia masing mengkordinasi pengikutnya untuk menyerang Belanda. Akhirnya, ia harus menerima kenyataan berupa hukuman pembuangan dari Aceh ke Sumedang, Jawa Barat, sampai ia meninggal di tempat itu pada tanggal 9 November 1908.

3. Cut Nyak Meutia (1870-1910)
Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka-pun mlampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal sebagai lelaki yang kuat dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka. Mereka menerima kodrat dan hak asasinya di medan perang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan. Mereka berperang di jalan Allah dan menolak segala macam kompromi. Sehingga, adalah hal yang wajar apabila terdapat diantara para wanita Aceh itu wanita yang tidak mau lagi mengakui suaminya karena telah bekerja sama dengan pihak penjajah.
Diantara wanita yang semacam ini, dan yang telah memimpin perlawanan sampai titik darahnya yang penghabisan adalah Cut Nyak Meutia. Srikandi ini tidak kalah satrianya jika dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dan srikandi-srikandi lainnya. Wanita kelahiran Keureutoe (Matang Kuli) ini selain wajahnya cantik nan ayu yang sesuai dengan namanya, juga seorang tokoh pemberani dan agung. Dari sekian banyak pinangan yang datang, yang diterima oleh Cut Nyak Meutia dan Keluarga, adalah pinangan yang berasal dari Cut Asiah yang ingin menikahkan puteranya Teuku Syamsarif. Mereka menikah pada tahun 1890.
Cut Meutia menganggap Belanda sebagai musuh besar, sebagaimana yang ada dalam hati ayah, saudara-saudaranya, serta pejuang muslim lainnya. Inilah kepribadian yang tertanam kokoh dalam dirinya, sesuatu yang tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya. Berbeda dengan Cut Meutia, Teuku Syamsarif adalah tipe seorang uleebalang yang senang pada kedudukan, kemewahan, serta martabat yang tinggi. Untuk memenuhi kesenangannya itu, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Perbedaan sikap dan kepribadian itulah yang akhirnya membuat kedua pasangan tersebut berpisah. Sebenarnya, Cut Meutia telah berusaha mengubah pendirian suaminya, untuk menghentikan kerja sama dengan pihak penjajah, selanjutnya memberikan bantuan kepada pejuang-pejuang bangsanya yang bergerilya di hutan-hutan. Akan tetapi, Teuku Syamsarif yang dibesarkan dalam keluarga yang berpihak pada penjajah itu semakin akrab dengan Belanda, dan diangkat sebagai uleebalang Keureutoe oleh Van Heustz -menggantikan ibunya, Cut Nyak Asiah- dengan gelar Teuku Chik Bentara atau Teuku Chik di Baroh..
Pengangkatan suaminya tersebut sangat melukai hati Cut Meutia, karena jauh sebelumnya, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah telah mengangkat Teuku Cut Muhammad (adik Teuku Syamsarif sendiri) sebagai uleebalang Keureutoe yang digelari Teuku Chik Tunong, dengan suatu surat keputusan “Sarakata Sultan” yang lengkap dengan “Cap Sultan”. Pengangkatan Teuku Syamsarif di atas, sesungguhnya merupakan salah satu upaya Belanda untuk memecah belah bangsa. Karena waktu itu di Keureutoe terdapat dua orang uleebalang, yang satu diangkat oleh Sultan Aceh, sedangkan yang lainnya diangkat oleh Belanda.
Akhirnya, karena tidak sanggup menahan penderitaan batin yang sangat berat karena harus hidu dalam situasi yang bertentangan dengan prinsipnya, -setelah terjadi dialog- Cut Meutia meminta kepada suaminya agar dirinya diceraikan saja dan dikembalikan kepada ayahnya di Pirak. Ia ingin bergabung dengan ayah dan saudara-saudaranya yang masih berjuang membela kedaulatan tanah airnya. Beberapa waktu setelah dialog itu, Cut Nyak Meutia meninggalkan Keureutoe kembali ketempat ayahnya di Pirak.
Karena tidak pernah menjemput dan memberi nafkah pada isterinya, Teuku Syamsarif dinyatakan dipasah dari isterinya. Sesudah bercerai, timbullah hasratnya untuk bergerilya ke daerah pegunungan bersama ayah dan saudara-saudaranya. Keinginan itu ternyata tidak dikabulkan sang ayah karena ia masih janda. Hasrat itu baru terwujud begitu ia menikah dengan Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik Tunong). Bersama suaminya Cut Nyak Meutia menemukan kembali identitasnya sebagai pejuang sejati dengan selalu mendampingi suaminya dalam setiap pertempuran dan penyerangan yang dilakukan terhadap Belanda.
Teuku Chik Tunong bukan hanya seorang uleebalang yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, juga merupakan seorang pemimpin muslim yang ditaati oleh pengikutnya dan ditakuti oleh Belanda. Dengan dibantu oleh Cut Meutia, ia dapat melakukan penyerangan secara mendadak bagaikan kilat, sekali di sini, sekali di sana, dan kemudian menghilang jauh. Ia sangat bijaksana, cukup mahir dalam strategi penyerangan yang akan dilakukan terhadap musuh. Semakin bertambah kewibawaannya karena bersamanya ikut pula ulama terkemuka antara lain adalah Teungku Chik Paya Bakong, Teungku di Mata ie, dan Teungku di Barat. Panglimanya yang terkemuka adalah Pang Nanggroe.
Berkat strategi -penyiasatan mematai-matai dan memancing musuh ke suatu tempat- yang disusun dengan jitu, Teuku Chik Tunong-Cut Nyak Meutia dapat memperoleh beberapa kemenangan yang gemilang. Sebaliknya, hal itu merupakan pukulan besar bagi Belanda. Pada tanggal 5 Oktober 1903 ia dan isterinya turun dari tempat gerilya dengan berpura-pura menyerah. Akhirnya, Teuku Chik Tunong yang pura-pura menyerah kepada Belanda, ditangkap pada tanggal 5 Maret 1905, dan dihukum mati setelah peristiwa terbunuhnya serdadu Belanda yang sedang istirahat di dalam bivak di Meunasah Kampung Meurandeh Paya. Setelah pihak Belanda meneliti, ternyata Teuku Chik Tunong terlibat sebagai dalang peristiwa yang terjadi pada tanggal 26 Januari 1905 tersebut.
Sebelum menjalani hukumannya, Teuku Chik Tunong meminta kepada Belanda agar dapat bertemu dengan isterinya, Cut Nyak Meutia dan dengan anaknya yang masih berumur 5 tahun, Teuku Raja Sabi untuk terakhir kalinya. Pertemuan tersebut dimamfaatkan untuk melepaskan rasa rindu dan salam perpisahan, serta –yang paling utama- Teuku Chik Tunong memberikan amanah pada isterinya, yakni: 1) agar Cut Nyak Meutia melanjutkan perlawanan terhadap Belanda; 2) agar anaknya dididik untuk terus mendendam terhadap penjajah; 3) agar Cut Nyak Meutia bersedia menikah dengan Pang Nanggroe.
Sesuai dengan sumpah yang diucapkan dihadapan suaminya, Cut Meutia, setelah selesai melaksanakan persalinan anaknya, ia segera memberitahukan kepada Pang Nanggroe pesan terakhir suaminya. Pada awalnya, Pang Nanggroe –yang pengikut setia Teuku Chik Tunong- terkejut dan merasa tidak sekufu-sepadan untuk beristerikan Cut Nyak Meutia. Akan tetapi, akhirnya mereka melaksanakan perkawinan sesuai dengan amanah Teuku Chik Tunong.
Perlawanan yang diberikan Cut Nyak Meutia bersama Pang Nanggroe –seorang penentang kompeni yang tangguh, cerdik, dan dilahirkan sebagai gerilyawan- menjadi lebih dahsyat daripada yang pernah dilakukannya bersama suaminya terdahulu. Bersama pengikutnya dan dengan dibantu oleh para ulama, mereka kembali bergerilya dengan membawa Raja Sabi –anak satu-satunya- kemanapun mereka pergi. Penyerangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe sangat bervariasi, dengan berbagai bentuk rancangan penyerangan.
Pemerintah Belanda mengerahkan perwira-perwira berpengalaman dan handal dalam melakukan setiap operasi, untuk menghadapi kegigihan dan ketangguhan pasukan Cut Nyak Meutia-Pang Nanggroe. Pemerintah Belanda juga membentuk kolone khusus yang dipimpin oleh Christoffel yang diberi nama “Kolone Macan”. Sejak tahun 1908 pemerintah Belanda memusatkan pertahanannya di Panton Labu dan Lhoksukon. Kemudian, mereka mendirikan bivak-bivak di Keureutoe, Matang Kuli, Pirak, Paya Bakong, dan sekitarnya. Tujuannya untuk lebih mengintensifkan pengejaran atas Pang Nanggroe, Cut Meutia, dan para pengikutnya.
Mulai awal tahun 1910 kekuatan Pang Nanggroe tidak lagi sehebat sebelumnya meskipun penggempuran terhadap Belanda masih terus dilakukannya, akan tetapi –berbeda dari sebelumnya- dalam berbagai peperangan itu pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia beberapa kali terkepung. Pada tanggal 20 September 1910, dalam suatu pertempuran dahsyat di Paya Cicem Pang Nanggro syahid tertembak dalam jarak dalam jarak 200 meter. Sebelum syahid ia memberikan wasiat pada Teuku Raja Sabi “lekaslah lari…susul ibumu…saya akan meninggal”
Meskipun Pang Nanggroe sudah syahid, Cut Meutia dan Raja Sabi, beserta pengikutnya tidak menyerah kepada Belanda. Cut Nyak Meutia bertekad melanjutkan perjuangan bersama-sama para pengikutnya yang setia. Pada tanggal 25 Oktober 1910 Cut Nyak Meutia bersama tokoh-tokoh utama pasukannya –Teungku Paya Bakong, Teungku Mat Saleh, dan lima pengawalnya- yang berada di Hulu Sungai Peutoe meninggal, setelah dikejar sejak 22-10-1910, dikepung dan digempur oleh pasukan Belanda yang dikomandoi oleh Sersan Mosselman.
Dengan syahidnya Cut Nyak Meutia -yang harus merelakan nyawanya untuk mempertahankan tanah air setelah bertempur sampai tetes darah penghabisan di Krueng Peutoe- perjuangan rakyat Keureutoe belum berakhir. Puteranya, Teuku Raja Sabi yang selamat -karena pada saat pertempuran tersebut diatas ia sedang memancing di Sungai- masih memegang peranan dalam perjuangan dalam waktu yang lama.

4. Pocut Baren (wafat 1933)
Wanita lainnya yang terlibat dalam peperangan kolonial Belanda adalah Pocut Baren, wanita yang lahir –dan dibesarkan dalam suasana peperangan- di Tungkop ini adalah putri dari Teuku Cut Amat, uleebalang Tungkop. Sejak kecil ia telah dilatih dengan berbagai ujian berat yang mampu membentuk dirinya sebagai seorang yang kuat, berani, ulet, dan –yang terpenting- dengan semangat yang membara untuk memusuhi Belanda. Ia dengan rela meninggalkan kehidupan sebagai seorang puteri uleebalang dengan menggabungkan diri dengan pasukan pejuang yang hidup di rimba belantara, dengan menahan penderitaan.
Pengalaman dan penderitaan hidup mulai ia jalani semasa berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Baren telah terjun ke kancah pertempuran sejak masa muda, yakni tanggal 11 Februari 1899, sejak Cut Nyak Dhien –setelah Teuku Umar meninggal- memimpin sendiri gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pocut Baren telah menunjukkan kesetiaannya yang tinggi kepada Cut Nyak Dhien. Pengalaman bertempur yang diperoleh dari perjuangan bersama Cut Nyak Dhien semakin mempertegar pendiriannya dalam melawan Belanda, terutama ketika –sejak tahun 1903-1910- ia memimpin sendiri pasukannya.
Dengan demikian, Pocut Baren sesungguhnya telah memimpin sendiri pasukannya ketika Cut Nyak Dhien masih aktif dalam perjuangan. Pada saat itu di wilayah Aceh Barat terdapat dua orang pejuang wanita, yaitu Cut Nyak Dien dan Pocut Baren..Mereka sama-sama dilahirkan sebagai keturunan uleebalang serta mempunyai kesamaan tekat dan cita-cita, mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tanah airnya. Pada saat suaminya –seorang Keujreun yang menjadi uleebalang Gume- masih hidup, bersama sang suami ia berperang melawan Belanda, menggempur dan digempur oleh penjajah itu.
Dalam perjuangan itu Pocut Baren sadar sepenuhnya bahwa setiap saat nyawa diri dan suaminya terancam. Namun, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan baginya sehingga semangat perjuangannya pun tidak mengendor. Mereka tidak gentar menghadapi maut karena didalam hati masing-masing sudah tertanam suatu tekad yang bulat, yakni menang atau syahid. Dalam suatu pertempuran dengan Belanda, Keujreun Game –suami Pocut Baren- syahid terkena tembakan Belanda, dengan demikian, semua tugas memimpin pasukan jatuh ke pundaknya.
Pocut Baren menghimpun kembali pasukannya, memobilisasi penduduk di sekitar Kaway XII, untuk meneruskan perjuangan yang lebih intensif. Selain mempersiapkan pasukannya, wanita itu membangun sebuah benteng di Gunong Macan sebagai pusat pertahanannya, sekaligus pusat perencanaan segala penyerangan terhadap tangsi militer musuh. Pihak Belanda juga melakukan pengejaran yang tidak kurang intensifnya untuk memburu pasukan wanita itu.
Dalam upayanya mengejar pasukan Pocut Baren, pemerintah Belanda memeperbanyak serdadunya serta membangun tangsi di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah pasukan Belanda digerakkan untuk memburu pasukan Pocut Baren. Laskar Pocut Baren lebih sering melakukan penyerangan terhadap kedua tangsi Belanda tersebut. Seusai melakukan penyerangan, mereka kembali dengan selamat ke pusat pertahanan. Pekerjaan seperti ini dilakukan selama bertahun-tahun.
Betapa-pun mobil penyerangannya,betapa-pun kuat pertahanannya, Pocut Baren tidak dapat membuat pasukan-pasukan Belanda menyerah kalah dan menghentikan usaha perburuan pihak Belanda terhadap dirinya. Salah satu faktor penyebab Pocut Baren tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama adalah kekurangan di bidang persenjataan, jika dibandingkan dengan persenjataan Belanda. Pada tahun 1910, dalam suatu penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Belanda –pimpinan Letnan Hoogers yang diberangkatkan dari Kuala Bhee-terhadap benteng pertahanan Pocut Baren, telah membuat kaki Pocut Baren tertembak.
Luka kaki yang cukup berat, membuat Pocut Baren berhasil ditawan oleh Belanda dan dibawa ke Meulaboh. Setelah pihak Belanda berupaya melakukan berbagai jenis pengobatan -karena luka kaki Pocut Baren semakin parah- akhirnya Tim Dokter yang merawatnya –di Kutaraja- terpaksa melakukan amputasi terhadap kakinya. Setelah masa penantian keputusan yang panjang, akhirnya, Van Daalen, Gubernur Militer Aceh, menjatuhkan hukuman ke Pulau Jawa terhadap Pocut Baren. Akan tetapi atas saran seorang perwira T.J. Veltman, Pocut Baren dikembalikan ke daerahnya dengan status uleebalang.
Pocut Baren dikirim kembali ke Tungkop, setelah dianggap sembuh dan diyakini oleh pemerintah Belanda bahwa dirinya tidak akan melakukan perlawanan lagi. Dengan kembalinya Pocut Baren ke daerahnya sebagai uleebalang, berakhirlah masa perlawanan total wanita itu, perlawanan yang cukup menyulitkan pemerintah Belanda. Buktinya, sejumlah nama para pemimpin patroli yang ditugaskan sebagai pemburu Pocut Baren yang terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam peperangan.
Selain pemberani, ulet, dan suka berterus terang –menghormati musuhnya, Pocut Baren juga seorang yang sangat cerdas dalam pelaksanaan pekerjaannya sebagai uleebalang. Karena Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran. Daerah dan rakyat yang dipimpinnya menjadi makmur, aman, dan tertib. Uleebalang yang gagah berani dan sekaligus satrawan ini meninggal dunia pada tahun 1933.

5. Pocut Meurah Intan (wafat 1937)
Pocut Meurah Intan –juga biasa dipanggil Pocut Meurah Biheue- adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. ayahnya Keujruen Biheue, berasal dari keturunan Pocut Bantan. Biheue adalah sebuah kenegerian atau keuleebalangan yang pada masa jaya Kerajaan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXII mukim, Aceh Besar. Kemudian pada akhir abad XIX menjadi bagian wilayah XII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale, dan Laweueng. Dari perkawinannya dengan Tuanku Abdul Majid , Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu Tuanku Muhammad (yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muhammad Batee), Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.
Dalam laporan Kolonial Verslag tahun 1905, disebutkan bahwa hingga awal tahun 1904 satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya. Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda. Pocut Meurah Intan mengajak Putera-puteranya untuk tetap berperang.
Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya –dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang- Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Setelah pasukan Marsose Belanda semakin meningkatkan aktivitas patrolinya, pada bulan Februari 1900 Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Karena Tuanku Muhammad Batee dianggap masih berbahaya, pada tanggal 19 April 1900 figur tersebut dibuang ke Tondano.
Peningkatan intensitas patroli Belanda, juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Merah Intan dan kedua puteranya oleh suatu pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakuka perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. Sesaat setelah itu, pasukan Marsose membiarkan Pocut Meurah Intan –yang sedang sekarat, tubuhnya penuh luka-luka yang sangat parah, bahkan Belanda mengira tak lama lagi Pocut Meurah Intan pasti tewas dengan sendirinya- dan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan Pocut Meurah Intan meninggal di tangan bangsanya sendiri.
Beberapa hari kemudian, ketika pasukan Marsose berjalan-jalan di kedai Biheue (antara Sigli dan Padang Tiji) -sangat kaget segaligus menganggap suatu hal yang dungu- karena di sana mereka mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh seluruh penduduk dalam pemukiman itu. Ini merupakan suatu hal yang luar biasa, bahwa di dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang sangat agung.
Keadaan Pocut Meurah lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, namun ia tetap menolak bantuan dokter. Lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah oleh seorang Belanda. Walaupun begitu, karena dibujuk dengan rasa hormat akhirnya Pocut Meurah bersedia diobati Belanda. Masa penyembuhannya berjalan lama, akhirnya ia sembuh juga walaupun menjadi pincang selama hidupnya. Kemudian Pocut Meurah dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman.
Tuanku Nurdin, puteranya yang lain, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kale. Pada bulan Juni 1904, ia berpura-pura melapor atau menyerah kepada penguasa Belanda yang bermarkas di Padang Tiji, dengan tujuan agar pihak Belanda bersedia membebaskan ibu dan saudaranya yang sedang mendekam di penjara. Namun, pemerintah Belanda tidak memenuhi keinginan Tuanku Nurdin tersebut. Pada bulan Agustus tahun itu juga ia kembali lagi ke wilayah Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya meneruskan perlawanan terhadap Belanda.
Pada tanggal 1 November 1904 pasukan marsose yang dipimpin Letnan J.J Burger berhasil menemukan dan segera mengepung tempat persembunyian Tuanku Nurdin, yang ternyata di tempat itu selain terdapat pasukan Aceh, juga terdapat anak-anak dan wanita. J.J Burger terjatuh karena ditembak oleh Tuanku Nurdin sehingga menimbulkan kepanikan di pihak Belanda, pada saat itu, segera Tuanku Nurdin menyelinap dan meloloskan diri dari blokade Belanda.
Pada tanggal 18 Februari 1905, Tuanku Nurdin tertangkap setelah dikepung pasukan marsose pimpinan J.J Boreel di desa Lhok Kaju. Setelah Tuanku Nurdin ditahan bersama ibunya Pocut Meurah Intan, dan saudaranya Tuanku Budiman, pada bulan Mei 1905, Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya dan juga seoarang keluarga Sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora(Rembang), Pulau Jawa. Pocut Meurah Intan meninggal 19 September 1937.

C. Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sepanjang sejarah imperialisme dan kolonialisme di Indonesia mendapat berbagai perlawanan, baik besar maupun kecil. Setelah melalui perjuangan fisik yang melelahkan, perlawanan serupa itu menempati kedudukan yang istimewa dan mempunyai nilai yang tinggi, Indonesia memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedudukan dan nilai yang demikian diberikan pula kepada figur-figur yang berperan penting di dalamnya. Diantara sekian nama atau pahlawan tersebut terdapat para wanita Aceh, yang berperang di jalan Allah dan menolak segala macam kompromi.
Selama perang kolonial Belanda di Aceh, para wanita Aceh tidak hanya menjadi pemain yang pasif di balik layar, sebagai penyiap makanan di dapur ataupun pendorong semangat bagi suami dan anak-anaknya yang bertempur, melainkan terlibat secara aktif di samping suami dan anak-anaknya, ikut memanggul senjata menuju medan perang untuk menyerang musuh. Banyak pula diantara mereka yang menjadi penggerak massa, pemimpin perlawanan, berdiri di garis depan, mengomandokan perang di jalan Allah untuk melawan penjajah.
Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya, dia berada baik di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan terhadap penjajahan. Ia rela menerima hidup dalam kancah peperangan dan melahirkan puteranya ditempat itu. Ia berperang bersama-sama suaminya, tangannya yang kecil dan halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya. Karena jasa-jasa kepahlawanannya dalam membela tanah air, mereka menjadi figur yang selalu dikenang dan dihormati.


Daftar Bacaan

Alfian, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1981.

Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj., Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004

A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994

C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995

Ismail Sofyan, dkk, (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintas Sejarah, Jayakarta: Jayakarta Agung Offset, Edisi Pertama, 1994

Kenneth W. Morgan, Islam Djalan Mutlak, terj., Djakarta: PT. Pembangunan Djakarta, 1963.

Moehammad Hoesin, Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas P&K, 1970.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, cet. II, Medan: Waspada, 1981

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005

Rusdi Sufi, dkk., Perhiasan Wanita Aceh dan Gayo, Banda Aceh: Departemen P & K, 1984.

Subadio Ulfah, dkk., (ed.), Peranan dan Kedudukan Wanita di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983

Uka Tjandrasasmita, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Kudus: Menara Kudus, 2000.

Zentrgraaf, H.C. Atjeh, Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie, 1939

Leubeh Saheh....

Eksistensi Ratu Aceh

EKSISTENSI KEPEMIMPINAN RATU ACEH
(Kajian Terhadap Peranan Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili)

A. PENDAHULUAN
Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi, masa Khulafa’ Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam "genggaman" kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangat terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa' ayat 34 telah mengakar dan menjadi landasan yang kuat. Di mana laki-laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.

Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang trasenden dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-laki. Bahkan jumhur ulama sepakat tentang syarat tersebut, karena didukung oleh hadits Nabi. Sistem ini diyakini dan dijadikan ideologi bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan berada pada posisi dipimpin oleh pria dan menjadi bagian dari property pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memposisikan perempuan di bawah kepemimpinan kaum lelaki.
Secara historis, paparan di atas bila dikaitkan dengan suasana di Aceh pada abad ke-17 sesuatu yang lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi'i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi dijumpai adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis dan mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas masyarakat Aceh..
Beranjak dari paparan di atas, makalah ini akan mengkaji tentang eksistensi kepemimpinan wanita (ratu) di Aceh sehingga mampu bertahan kurang lebih setengah abad lamanya, dan ini dianggap waktu yang lama. Di samping itu juga akan melihat bagaimana sikap dan peranan ulama-ulama Aceh pada era pemerintahan ratu, khususnya terhadap dua ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam menggawangi kepemimpinan ratu dalam sejarah kerajaan Aceh, yaitu Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf as-Singkili. Untuk melacak data-data historis tersebut, bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal ini menjadi penting untuk di kaji dalam rangka melihat pergeseran-pergeseran pemahaman yang terjadi di Aceh pada masa tersebut.

B. ACEH DALAM KEPEMIMPINAN RATU
Setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani, pada masa-masa berikutnya mulai tahun 1641 M sampai dengan tahun 1699 M, kerajaan Aceh dipimpin para pemimpin wanita. Ini merupakan suatu hal yang menarik dan menjadi obyek kajian sejarah, mengingat pada masa tersebut kedudukan wanita sebagai pemimpin secara umum masih diperselisihkan, bahkan dalam wawasan keislaman hal tersebut dianggap sesuatu yang jarang dan tidak biasanya terjadi.
Di bawah ini akan dipaparkan ratu-ratu yang pernah memimpin kerajaan Aceh, bahkan mereka dianggap berhasil dengan berbagai kecakapan yang dimiliki serta tidak kalah dari kepemimpinan laki-laki, yaitu: Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Syah dan Kamalat Syah.

1. SULTANAH TAJUL ALAM SAFIATUDDIN SYAH (1641-1675)
Ratu pertama wanita kerajaan Aceh yaitu Sultanah Safiatuddin yang tidak lain adalah isteri dari Sultan Iskandar Tsani dan puteri Sultan Iskandar Muda. Ia dikenal dalam sejarah dengan gelar Seri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah; dinobatkan sebagai Sultanah setelah tiga hari masa berkabung atas mangkat suaminya Iskandar Tsani.
Safiatuddin memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa tersebut merupakan masa yang relatif lama. Pada periode ini kerajaan Aceh berada dalam kondisi kritis akibat kemampuan perang (militer) yang dimilikinya telah melemah sepeninggal Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin sebagai sultanah.
Kondisi semakin diperkeruh dengan keberadaan segelintir orang yang ketika itu turut menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit tersebut. Kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun sedang meningkat, terutama setelah mereka barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karenanya, kepiawaian Sultanah dalam mengendalikan pemerintahan Kerajaan Aceh dalam situasi sulit dan kritis ini oleh para sejarawan dinilai suatu yang sangat luar biasa.
Safiatuddin dalam memimpin kerajaan sangat memperhatikan berjalannya sistem pengendalian pemerintahan, masalah-masalah pendidikan, keagamaan dan perekonomian juga menjadi fokus perhatiannya. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusias yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat. Mungkin ini juga menjadi sebab yang membuat Sultanah mendapat dukungan dari ulama-ulama terkemuka waktu itu.
Kenyataan lain membuktikan bahwa Safiatuddin juga memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda, Safiatuddin meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orang tuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir'at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara' Allah.
Kelancaran roda pemerintahan yang berlangsung relatif lama pada masa Tajul Alam Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum rakyat menerima kepemimpinannya. Meskipun pada realitasnya tidaklah sebanding dengan kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Tetapi, sebagai seorang wanita pertama yang memimpin pemerintahan, ia dapat dikatakan telah mencapai prestasi yang membanggakan.
Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah. Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan.
Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, ancaman dari luar khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini.
Walaupan dalam kemiliteran mengalami kelemahan, namun Safiatuddin dianggap sebagai pemimpin wanita Aceh yang berhasil. Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.

2. SULTANAH NURUL ALAM NAQIATUDDIN SYAH (1675-1678)
Setelah mangkatnya Safiatuddin Syah, tampuk kepemimpinan kerajaan Aceh tetap dipegang oleh wanita, yaitu Naqiatuddin Syah, yang bergelar Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah. Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syaikh Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Sayyid al Mukammil. Berarti Naqiatuddin merupakan salah satu wanita yang merupakan keturunan para sultan terdahulu pada abad ke-14. Ketika Naqiatuddin yang memerintah kerajaan Aceh, yang menjadi mufti kerajaan adalah Abdul Rauf As-Singkili, yang sebelumnya memang telah pula menjadi mufti pada masa Sultanah Safiatuddin. Salah satu sumbangan penting Abdul Rauf As-Singkili bagi kepemimpinan Naqiatuddin adalah kontribusi dan sarannya agar ratu mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh, sebagaimana yang tercantum di dalam undang-undang dasar Kerajaan Aceh, Adat Meukuta Alam.
Sultanah Naqiatuddin menerima dan menjalankan ide muftinya, ia melakukan perubahan dalam stuktur pemerintahan. Daerah asal kerajaan Aceh, yang dikenal dengan nama Aceh Rayeuk dijadikan tiga federasi. Ketika federasi ini disebut tiga sagi atau lhee sagoe. Setiap sagoe terdiri atas sejumlah mukim, berdasarkan jumlah mukim yang disatukan. Pimpinan masing-masing sagoe disebut panglima sagoe.
Stuktur pemerintah baru tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Sultanah sebagai penguasa tertinggi. Ibukota yang menjadi pusat pemerintahan ketika itu adalah Aceh Besar. Wilayah Aceh Besar dibagi menjadi tiga sagoe besar, yang dikenal dengan sagoe xxii, sagoe xxv, dan sagoe xxvi. Kepala dari tiap sagoe dikenal dengan nama panglima sagoe. Di bawah sagoe disebut dengan Mukim dan dikepalai oleh seorang imeum. Struktur pemerintahan panglima bawah adalah Gampong. Di samping itu juga ditemui adanya pemerintahan otonom yang disebut dengan Nanggroe dan diperintah langsung oleh uleebalang. Sedangkan struktur pemerintahan diluar Aceh Besar tidak dijumpai adanya sagoe-sagoe, melainkan yang ada hanya nanggroe dengan langsung berada dibawah kekuasaan uleebalang yang mendapat restu dari pusat. Di bawah nanggroe adalah mukim, yang membawahi gampong-gampong sebagai struktur pemerintah yang paling bawah.
Maksud pembentukan sagoe adalah membentuk pemerintahan yang tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegerian-kenegerian kepada ketiga orang panglima sagoe. Panglima sagoe terutama berfungsi untuk mengefektifkan tugas pengawasan, yaitu dengan memonitor sejauh mana kebijakan dan perintah-perintah dari kesultanan disampaikan pimpinan-pimpinan negeri atau uleebalang benar-benar dilaksanakan.
Kebijaksanaan Naqiatuddin di atas merupakan suatu kemajuan dalam sejarah Aceh, seperti yang dikatakan oleh Thomas Braddel dalam karyanya yang berjudul On the History of Acheen, Braddel mengatakan bahwa pembentukan tiga sagoe di Aceh besar dengan pembagian kepada beberapa mukim untuk bawahannya, adalah suatu contoh dari kemajuan sistem pemerintahan. Kalau boleh ditarik lebih luas dari pendapat Braddel ini, sebagaimana dikatakan Mohammad Said, ia hendak menunjukkan bahwa masa 200 tahun yang lalu, sebelum Eropa sendiri mengenal demokrasi, di Aceh sudah dilaksanakan suatu demokratisasi pemerintahan yang dilaksanakan atas prinsip musyawarah.
Namun demikian, ada pula yang berpendapat bahwa pembentukan sagoe-sagoe tersebut adalah berdasarkan keadaan memaksa. Menurut pandangan tersebut, pada masa itu diperlukan balance of power antara panglima sagoe dengan pemerintah pusat yaitu Sultanah. Sebagimana yang dinyatakan oleh Veltman yaitu untuk mengukuhkan kekuasaan panglima sagoe itu sendiri terhadap sultanah. Walaupun terjadi silang pendapat dasar pembentukan panglima sagoe tersebut, yang jelas pada masa Naqiatuddin telah terjadi suatu bentuk pemerintah yang demokratis untuk membangun sikap saling percaya dalam mewujudkan keadaan damai dan kestabilan kerajaan Aceh, karena pada tersebut, Aceh dalam situasi yang kurang kondusif diakibatkan semakin melemahnya kekuatan militer.
Hal lain yang dilakukan Naqiatuddin ialah penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai alat tukar. Mata uang yang dikeluarkan ini terletak pada nilai emas setinggi 17 karat, berat sebesar 0,59 gram. Adapun bentuknya berupa tulisan nama dan gelar ratu, Paduka Sri Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan tulisan Naqiat ad-Din Syah Berdaulat pada bagian belakangnya.
Namun pada masa ini terjadi bencana besar bagi kerajaan Aceh, yaitu terbakarnya masjid raya Baiturrahman. Penyebab kebakaran masjid belum diketahui sampai sekarang. Sultanah Naqiatuddin hanya memerintah selama 2 tahun, masa pemerintah yang singkat dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Ia mangkat pada minggu 23 Januari 1678 M.

3. SULTANAH INAYAT ZAKIATUDDIN SYAH (1678-1688)
Inayat Zakiatuddin Syah diangkat menggantikan Naqiatuddin. Ia dikenal sebagai seorang sultanah yang bijak, berpengetahuan luas dalam berbagai bidang. Ia bahkan menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, Spanyol dan Belanda yang dipelajarinya dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di Kraton Daud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Menurut orang-orang Inggris yang mengunjungi Aceh pada tahun 1684, umur Inayat waktu itu diperkirakan sekitar 40 tahun. Ia digambarkan berbadan tegap dan memiliki suara yang keras. Ratu Inayat Syah mempercayakan Abdul Rauf As-Singkili sebagai penasehatnya. Ia juga meminta Abdul Rauf As-Singkili untuk mengarang sebuah kitab, yaitu sebuah komentar terhadap kumpulan Arba'in kompilasi dari 40 buah hadits yang berasal dari Nawawi (ulama mazhab Syafi'i).
Ada dua hal menarik yang bisa diangkat sehubungan dengan pemerintah Ratu Inayat Syah, pertama, tentang kedatangan orang-orang Inggris. Kedatangan orang-orang Inggris ke Aceh ketika itu adalah bertujuan untuk mendirikan kantor dagang yang diperkuat dengan benteng pertahanan sendiri. Namun Sultanah mengambil kebijakan yang tidak memperbolehkan benteng pertahanan, karena itu akan membahayakan kerajaan Aceh., pihak Inggris hanya diberi kesempatan untuk mendirikan kantor dagang di pelabuhan Aceh. Sikap diplomatis ini menunjukkan kekuatan bargaining politik Sultanah.
Kedua, tentang kedatangan utusan dari Mekkah. Mengenai hal ini, tidak terlepas dari upaya kaum wujudiah penentang sultan perempuan, di mana pada masa kekuasaan Zakiatuddin Inayat Syah, mereka mengadu persolan kepemimpinan wanita kepada Syarif di Mekkah yang lantas mengirim utusan ke Aceh. Utusan tersebut bernama El Hajj Yusuf E. Qodri, Sultanah menerima Hajj Yusuf dengan suatu upacara kebesaran dan menunjukkan perjalanan pemerintahannya. Sekembalinya ke Mekkah, Hajj Yusuf menyampaikan kepada Raja Syarif, betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Sultanah di Aceh, rakyatnya pun taat beragama Islam, hidup rukun dan damai dalam kemakmuran di mana-mana. Utusan tersebut kagum melihat kemakmuran Kutaraja sebagai Kota Internasional.
Menurut beberapa catatan, Sultanah Inayat Syah mangkat pada hari Minggu 7 Dzulhijjah 1099 H atau tanggal 3 Oktober 1688, ia memerintah dalam rentang waktu 10 tahun lamanya.

4. SULTANAH KAMALAT SYAH (1688-1699)
Kamalat Syah menggantikan Ratu Zakiatuddin, silsilah keturunannya tidak diketahui dengan jelas, beberapa sumber memberikan perkiraan yang berbeda. Di satu pihak ada yang mengatakan bahwa Kamalat Syah adalah anak angkat Safiatuddin Syah, tetapi di lain pihak ada yang mengatakan adik Zakiatuddin Syah. Namun, kedua pihak tersebut memperlihatkan persamaan perkiraan, bahwa Kamalat Syah memang berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh. Kaum Wujudiah pada masa ini masih tetap tidak menyetujui adanya Sultan perempuan. Syarif Hasyim salah satu dari mereka, akhirnya berjodoh dengan Ratu Kamalat Syah. Sementara itu kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah sehingga datanglah surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidak-setujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Surat tersebut lalu dirembuk bersama oleh kalangan pembesar negara dan dimenangkan oleh kelompok anti Ratu Perempuan. Pada hari Rabu 1 Oktober 1699 Ratu Kamalat Syah dimakzulkan (diturunkan) dari tahta dan diganti oleh suaminya, Syarif Hasyim.

C. PERANAN AR-RANIRY DAN ABDUR RAUF TERHADAP KEPEMIMPINAN SULTANAH
Dalam masa pemerintah para sultanah di kerajaan Aceh, terjadi pertentangan tentang naiknya tahta seorang perempuan. Pertentangan ini nampaknya, dimenangkan oleh kalangan pendukung bahwa perempuan boleh menjadi seorang sultan walaupun pada akhirnya Ratu Kamalat Syah dimakzulkan. Dalam hal ini, peranan dua ulama besar yang dimiliki kerajaan Aceh pada waktu itu, mampu memberikan solusi yang terbaik dalam mewujudkan perdamaian antara dua pihak yang saling bertentangan. Kedua ulama tersebut adalah Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili.

1. SYEIKH NURUDDIN AR-RANIRY
Setelah Iskandar Tsani mangkat, amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Lalu seorang Ulama Besar, Nuruddin Ar-Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum ulama, sehingga Ratu Safiatuddin diangkat menjadi sultanah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Namun, bagaimanapun kenyataan yang menjadi rujukan ahli sejarah telah mengingatkan kita bahwa Aceh pada masa dulu telah memberi perhatian yang besar bagi kaum perempuan, analisis yang lebih menarik bahwa Aceh ketika itu telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara yang benar-benar demokratis di permukaan bumi. Aceh dalam lintas historis dikenal sebagai kerajaan yang sangat memperhatikan sosok ulama, artinya ulama dan umara (sultan) itu berjalan sinergis dalam mewujudkan berbagai program yang akan dilakukan sultan. Bahkan dalam Qanun al Asyi atau Adat Meukuta Alam ditetapkan bahwa sultan dan ulama harus menjadi Dwi Tunggal. Artinya, sultan dan ulama tidak boleh jauh atau bercerai, sebab jikalau bercerai maka binasalah negeri. Di samping itu, ulama dalam pandangan masyarakat sangat dihormati bahkan diikuti setiap hukum yang difatwakan. Karena adanya sikap kerjasama ini, maka berbagai hal yang berkenaan dengan kebijakan kerajaan tidak pernah luput dari perhatian ulama untuk memberikan pengarahan pada masyarakat. Keadaan ini masih terlihat sampai dengan era Snouck Hurgronje.
Pada masa Iskandar Tsani, salah seorang ulama yang cukup berpengaruh adalah Nuruddin Ar-Raniry, ketika sultan mangkat Ar-Raniry masih hidup. Jadi pergantian kepemimpinan dari sultan ke sultanah ketika itu dalam pengawasan dan dukungan dari Ar-Raniry itu sendiri. Penulisan tentang sejarah hidup ulama besar ini telah banyak dikerjakan orang, terutama oleh para sarjana Bangsa Belanda, antara lain: P. Voorhoeve, G.W.J. Drewes, C.A.O. van Nieuwenhuijze dan lain-lain. Dari kalangan para ahli sejarah Indonesia, seperti R. Hoesin Djajdiningrat dan Tujimah.
Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang sarjana agama, ulama dan sejarawan. Daerah asalnya adalah Ranir, Gujarat, India, datang ke Aceh pada tahun 31 Mei 1637, yaitu pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Walaupun bukti-bukti dokumentasi tidak ada, akan tetapi dapat diduga bahwa Ar-Raniry telah pernah datang ke Aceh pada masa pemerintah Iskandar Muda. Hanya karena tidak ada penerimaan dari pihak sultan ia melanjutkan perjalanannya ke Semenanjung Tanah melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat menetap.
Sebagaimana diketahui, pada waktu Iskandar Muda berkuasa di Aceh, ulama yang sangat berperan dan menonjol adalah Syamsuddin Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah sultan dan bertindak sebagai penasehat dan mufti kerajaan. Sedangkan paham wujudiyah merupakan ajaran resmi dan direstui oleh sultan, di mana paham ini bertentangan dengan pemikiran Ar-Raniry. Hal ini terlihat pada masa-masa berikutnya, ketika Ar-Raniry kembali ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, dan dipercayakan sebagai mufti terjadi pertentangan pemikiran yang tajam dengan paham wujudiyah.
Tentang bagaimana dukungan atau peranan Ar-Raniry untuk meligitimasi kepemimpinan seorang perempuan atau sultanah bisa dilihat dari sebuah kitab yang ditulisnya, yaitu "Bustanul Salatin", dalam kitab ini Ar-Raniry memberi dukungan yang cukup besar bagi Safiatuddin untuk menjadi sultanah bagi kerajaan Aceh. Ini bisa dilihat dari pujian-pujian yang disampaikan Ar-Raniry dalam Bustanul Salatin –sebagaimana dikuti Mohammad Said- yaitu:
Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad saw dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulah dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang saleh dan sembahyang menuntut ilmu. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung khalifahnya.

Dari kutipan di atas, tergambar dengan jelas bagaimana dukungan yang diberikan oleh Ar-Raniry untuk Safiatuddin, ketika itu Ar-Raniry benar-benar sebagai seorang ulama yang terpandang dan menjadi panutan masyarakat. Walaupun pada awalnya ada pro dan kontra terhadap naiknya tahta seorang wanita, pada akhirnya keadaan sangat stabil bahkan semua panglima-panglima sagoe serta masyarakat patuh terhadap kepemimpinan Safiatuddin. Ar-Raniry berada di Aceh hingga tahun 1644, yang berarti ia hanya berada di Aceh sekitar 3 tahun pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Pada masa tiga tahun tersebut ia senantiasa berada dalam kedudukan penting dalam pemerintahan, mendampingi sultanah di bidang agama. Tentang sebab musabab kembalinya Ar-Raniry ke kampung halamannya tidak diketahui secara pasti, padahal Safiatuddin ketika itu masih mempercayai jabatan bidang agama kepadanya. Tentang hal ini bisa saja menjadi suatu hal menarik untuk dikaji lebih lanjut.


2. SYEIKH ABDUL RAUF AS-SINGKILI
Salah satu ulama besar lainnya yang memberikan dukungan kepada para sultanah adalah Abdul Rauf. Nama lengkapnya adalah Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Fansuri Al-Singkili, lahir sekitar tahun 1620 di kota Singkil, Aceh Selatan. Abdul Rauf menuntut ilmu ke tanah Arab pada usia 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661, berarti ia meninggalkan Aceh pada tahun 1642. Ketika ia kembali ke Aceh, kekuasaan telah dipegang oleh Sultanah Safiatuddin. Di mana kepemimpinan Safiatuddin telah dikukuhkan oleh pengakuan Ar-Raniry sebelum Abdul Rauf berada di Aceh.
Salah satu karya besarnya adalah Mir'at at Tullab, kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin, dalam pendahuluan dari kitab tersebut, sebagaimana dikutip oleh T. Ibrahim Alfian, Abdul Rauf menggambarkan bagaimana kepemimpinan Safiatuddin:
Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Taj al 'Alam Safat al Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukmi daripda segala hukum syara' Allah yang mu'tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi'i radiallahu 'anhu…

Dalam pengantar yang di tulis oleh Abdul Rauf terlihat dengan jelas bagaimana seorang ulama memberikan penghargaan yang cukup besar dan tinggi kepada seorang sultanah. Bahkan dengan menggunakan kalimat puji-pujian "Hadarat yang Mahamulia". Ini merupakan suatu bukti yang kongkrit bahwa Abdul Rauf As-Singkili dapat menjalin kerjasama dengan seorang sultanah tanpa melakukan diskriminasi sebagai yang telah diupayakan oleh golongan-golongan lain dalam menentang kepemimpinan seorang wanita. Bahkan pada masa-masa berikutnya pasca mangkatnya Safiatuddin, Abdul Rauf As-Singkili tetap mengambil peranan yang cukup besar dalam mempertahankan kepemimpinan sultanah di kerajaan Aceh. Hal ini terlihat, pada masa Naqiatuddin dengan mengusulkan perombakan sistem pemerintahan yang di bagi dalam tiga sagoe.
Kedudukannya yang sangat berpengaruh sebagai Qadi yang secara terus-menerus melakukan upaya-upaya dan memutuskan kebijaksanaan tertentu dalam mewujudkan kehidupan beragama dalam kerajaan Aceh. Pada akhir abad ke-17 muncul keinginan golongan tertentu untuk mengakhiri kepemerintahan ratu wanita di Aceh. Hal ini diakibatkan tidak adanya ulama yang kharismatik yang mendukung kepemimpinan wanita sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Rauf As-Singkili (w. 1690), sikap Abdul Rauf ketika itu telah menjadi pedoman oleh rakyat dalam menghadapi soal pro dan kontra terhadap pemerintahan wanita. Setelah 6 Tahun Abdul Rauf meninggal timbullah keinginan untuk mengakhiri pemerintahan ratu. Yaitu, dengan dimakzulkan Kamalat Syah pada tahun 1699, Menurut data sejarah, Sultanah Kamalat Syah baru meninggal setahun setelah dimakzulkan yaitu pada tahun 1700.
D. KESIMPULAN
Kepemimpinan para ratu wanita dalam sejarah kerajaan Aceh merupakan suatu hal yang menghadirkan decak kagum dunia dan kajian para peneliti sejarah. Hal ini dikarenakan pada masa itu kaum wanita dipandang tidak bisa menjadi pemimpin, kedudukannya lebih rendah daripada seorang laki-laki. Tetapi naiknya tahta wanita pada masa tersebut, juga tidak terlepas dari intrik-intrik pertentangan, di mana suatu pihak mendukung bahwa wanita dijadikan sebagai sultan, namun pihak lain menentang bolehnya wanita menjadi sultan.
Pertentangan ini, terlihat didominasi oleh golongan pertama. Dalam hal ini, peranan yang telah "dimainkan" oleh Ar-Raniry pada masa-masa awal naiknya Sultanah Safiatuddin menjadi suatu faktor penentu, di samping kecakapan Safiatuddin yang telah berpengalaman dalam mengatur pemerintah, karena ia adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda, sekaligus sebagai permaisuri dari Sultan Iskandar Tsani.
Sepeninggalnya Ar-Raniry, kembalinya Abdul Rauf As-Singkili dari Arab ke Aceh, menjadi faktor penentu kedua dalam proses bertahannya kepemimpinan ratu. Hal ini terlihat, karena setelah 6 tahun meninggalnya Abdul Rauf As-Singkili, golongan yang menentang kedudukan wanita sebagai sultan kembali mempunyai kedudukan yang kuat, sehingga Sultanah Kamalat Syah sebagai pewaris tahta terakhir dari kalangan wanita dapat dimakzulkan dan posisinya digantikan oleh kaum laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadim Zallun, Sistem Pemeritahan Islam, Terj. M. Maghfur W, Bangil-Jatim: al Izzah, 2000.

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar Raniry, Jakarta: Rajawali, 1993.

-------, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry: Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, t.t,.

Ali Hasjmy, dkk. (ed), 80 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia- Aceh, 1995.

Al Ghazali, al Iqtishad fi al I’tiqad, (Kairo: t.p., 1320 H)

Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981.

Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail, "Ratu Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah", dalam dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta, Agung Offset, 1994.

Rusdi Sufi, "Sultanah Safiatudin Syah", dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta, Agung Offset, 1994.

Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, dkk., Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.

T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, 1979.

-------, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.

Leubeh Saheh....