Jumat, 15 April 2011

Eksistensi Ratu Aceh

EKSISTENSI KEPEMIMPINAN RATU ACEH
(Kajian Terhadap Peranan Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili)

A. PENDAHULUAN
Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi, masa Khulafa’ Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam "genggaman" kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangat terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa' ayat 34 telah mengakar dan menjadi landasan yang kuat. Di mana laki-laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.

Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang trasenden dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-laki. Bahkan jumhur ulama sepakat tentang syarat tersebut, karena didukung oleh hadits Nabi. Sistem ini diyakini dan dijadikan ideologi bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan berada pada posisi dipimpin oleh pria dan menjadi bagian dari property pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memposisikan perempuan di bawah kepemimpinan kaum lelaki.
Secara historis, paparan di atas bila dikaitkan dengan suasana di Aceh pada abad ke-17 sesuatu yang lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi'i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi dijumpai adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis dan mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas masyarakat Aceh..
Beranjak dari paparan di atas, makalah ini akan mengkaji tentang eksistensi kepemimpinan wanita (ratu) di Aceh sehingga mampu bertahan kurang lebih setengah abad lamanya, dan ini dianggap waktu yang lama. Di samping itu juga akan melihat bagaimana sikap dan peranan ulama-ulama Aceh pada era pemerintahan ratu, khususnya terhadap dua ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam menggawangi kepemimpinan ratu dalam sejarah kerajaan Aceh, yaitu Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf as-Singkili. Untuk melacak data-data historis tersebut, bukanlah sesuatu yang mudah, namun hal ini menjadi penting untuk di kaji dalam rangka melihat pergeseran-pergeseran pemahaman yang terjadi di Aceh pada masa tersebut.

B. ACEH DALAM KEPEMIMPINAN RATU
Setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani, pada masa-masa berikutnya mulai tahun 1641 M sampai dengan tahun 1699 M, kerajaan Aceh dipimpin para pemimpin wanita. Ini merupakan suatu hal yang menarik dan menjadi obyek kajian sejarah, mengingat pada masa tersebut kedudukan wanita sebagai pemimpin secara umum masih diperselisihkan, bahkan dalam wawasan keislaman hal tersebut dianggap sesuatu yang jarang dan tidak biasanya terjadi.
Di bawah ini akan dipaparkan ratu-ratu yang pernah memimpin kerajaan Aceh, bahkan mereka dianggap berhasil dengan berbagai kecakapan yang dimiliki serta tidak kalah dari kepemimpinan laki-laki, yaitu: Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Syah dan Kamalat Syah.

1. SULTANAH TAJUL ALAM SAFIATUDDIN SYAH (1641-1675)
Ratu pertama wanita kerajaan Aceh yaitu Sultanah Safiatuddin yang tidak lain adalah isteri dari Sultan Iskandar Tsani dan puteri Sultan Iskandar Muda. Ia dikenal dalam sejarah dengan gelar Seri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah; dinobatkan sebagai Sultanah setelah tiga hari masa berkabung atas mangkat suaminya Iskandar Tsani.
Safiatuddin memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa tersebut merupakan masa yang relatif lama. Pada periode ini kerajaan Aceh berada dalam kondisi kritis akibat kemampuan perang (militer) yang dimilikinya telah melemah sepeninggal Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin sebagai sultanah.
Kondisi semakin diperkeruh dengan keberadaan segelintir orang yang ketika itu turut menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit tersebut. Kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun sedang meningkat, terutama setelah mereka barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641. Oleh karenanya, kepiawaian Sultanah dalam mengendalikan pemerintahan Kerajaan Aceh dalam situasi sulit dan kritis ini oleh para sejarawan dinilai suatu yang sangat luar biasa.
Safiatuddin dalam memimpin kerajaan sangat memperhatikan berjalannya sistem pengendalian pemerintahan, masalah-masalah pendidikan, keagamaan dan perekonomian juga menjadi fokus perhatiannya. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusias yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat. Mungkin ini juga menjadi sebab yang membuat Sultanah mendapat dukungan dari ulama-ulama terkemuka waktu itu.
Kenyataan lain membuktikan bahwa Safiatuddin juga memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda, Safiatuddin meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orang tuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain dengan mendorong para ulama untuk terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab yang dikenal Mir'at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan mengenal segala hukum syara' Allah.
Kelancaran roda pemerintahan yang berlangsung relatif lama pada masa Tajul Alam Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum rakyat menerima kepemimpinannya. Meskipun pada realitasnya tidaklah sebanding dengan kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda. Tetapi, sebagai seorang wanita pertama yang memimpin pemerintahan, ia dapat dikatakan telah mencapai prestasi yang membanggakan.
Karena prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya, khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah. Dalam hal perekonomian, Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh, bahwa setiap kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh diwajibkan membayar pajak masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu, setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang bersangkutan.
Salah satu kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman dari luar, ancaman dari luar khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam makalah ini.
Walaupan dalam kemiliteran mengalami kelemahan, namun Safiatuddin dianggap sebagai pemimpin wanita Aceh yang berhasil. Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal Safiatuddin kerajaan Aceh diperintah oleh seorang wanita lainnya yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.

2. SULTANAH NURUL ALAM NAQIATUDDIN SYAH (1675-1678)
Setelah mangkatnya Safiatuddin Syah, tampuk kepemimpinan kerajaan Aceh tetap dipegang oleh wanita, yaitu Naqiatuddin Syah, yang bergelar Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah. Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syaikh Hitam, putra Firman Ali Riayat Syah, putra Sayyid al Mukammil. Berarti Naqiatuddin merupakan salah satu wanita yang merupakan keturunan para sultan terdahulu pada abad ke-14. Ketika Naqiatuddin yang memerintah kerajaan Aceh, yang menjadi mufti kerajaan adalah Abdul Rauf As-Singkili, yang sebelumnya memang telah pula menjadi mufti pada masa Sultanah Safiatuddin. Salah satu sumbangan penting Abdul Rauf As-Singkili bagi kepemimpinan Naqiatuddin adalah kontribusi dan sarannya agar ratu mengadakan perubahan dalam sistem pemerintahan di Kerajaan Aceh, sebagaimana yang tercantum di dalam undang-undang dasar Kerajaan Aceh, Adat Meukuta Alam.
Sultanah Naqiatuddin menerima dan menjalankan ide muftinya, ia melakukan perubahan dalam stuktur pemerintahan. Daerah asal kerajaan Aceh, yang dikenal dengan nama Aceh Rayeuk dijadikan tiga federasi. Ketika federasi ini disebut tiga sagi atau lhee sagoe. Setiap sagoe terdiri atas sejumlah mukim, berdasarkan jumlah mukim yang disatukan. Pimpinan masing-masing sagoe disebut panglima sagoe.
Stuktur pemerintah baru tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Sultanah sebagai penguasa tertinggi. Ibukota yang menjadi pusat pemerintahan ketika itu adalah Aceh Besar. Wilayah Aceh Besar dibagi menjadi tiga sagoe besar, yang dikenal dengan sagoe xxii, sagoe xxv, dan sagoe xxvi. Kepala dari tiap sagoe dikenal dengan nama panglima sagoe. Di bawah sagoe disebut dengan Mukim dan dikepalai oleh seorang imeum. Struktur pemerintahan panglima bawah adalah Gampong. Di samping itu juga ditemui adanya pemerintahan otonom yang disebut dengan Nanggroe dan diperintah langsung oleh uleebalang. Sedangkan struktur pemerintahan diluar Aceh Besar tidak dijumpai adanya sagoe-sagoe, melainkan yang ada hanya nanggroe dengan langsung berada dibawah kekuasaan uleebalang yang mendapat restu dari pusat. Di bawah nanggroe adalah mukim, yang membawahi gampong-gampong sebagai struktur pemerintah yang paling bawah.
Maksud pembentukan sagoe adalah membentuk pemerintahan yang tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegerian-kenegerian kepada ketiga orang panglima sagoe. Panglima sagoe terutama berfungsi untuk mengefektifkan tugas pengawasan, yaitu dengan memonitor sejauh mana kebijakan dan perintah-perintah dari kesultanan disampaikan pimpinan-pimpinan negeri atau uleebalang benar-benar dilaksanakan.
Kebijaksanaan Naqiatuddin di atas merupakan suatu kemajuan dalam sejarah Aceh, seperti yang dikatakan oleh Thomas Braddel dalam karyanya yang berjudul On the History of Acheen, Braddel mengatakan bahwa pembentukan tiga sagoe di Aceh besar dengan pembagian kepada beberapa mukim untuk bawahannya, adalah suatu contoh dari kemajuan sistem pemerintahan. Kalau boleh ditarik lebih luas dari pendapat Braddel ini, sebagaimana dikatakan Mohammad Said, ia hendak menunjukkan bahwa masa 200 tahun yang lalu, sebelum Eropa sendiri mengenal demokrasi, di Aceh sudah dilaksanakan suatu demokratisasi pemerintahan yang dilaksanakan atas prinsip musyawarah.
Namun demikian, ada pula yang berpendapat bahwa pembentukan sagoe-sagoe tersebut adalah berdasarkan keadaan memaksa. Menurut pandangan tersebut, pada masa itu diperlukan balance of power antara panglima sagoe dengan pemerintah pusat yaitu Sultanah. Sebagimana yang dinyatakan oleh Veltman yaitu untuk mengukuhkan kekuasaan panglima sagoe itu sendiri terhadap sultanah. Walaupun terjadi silang pendapat dasar pembentukan panglima sagoe tersebut, yang jelas pada masa Naqiatuddin telah terjadi suatu bentuk pemerintah yang demokratis untuk membangun sikap saling percaya dalam mewujudkan keadaan damai dan kestabilan kerajaan Aceh, karena pada tersebut, Aceh dalam situasi yang kurang kondusif diakibatkan semakin melemahnya kekuatan militer.
Hal lain yang dilakukan Naqiatuddin ialah penempaan dan mengeluarkan mata uang sendiri yang terbuat dari emas sebagai alat tukar. Mata uang yang dikeluarkan ini terletak pada nilai emas setinggi 17 karat, berat sebesar 0,59 gram. Adapun bentuknya berupa tulisan nama dan gelar ratu, Paduka Sri Sultanah Nurul Alam pada bagian mukanya, dan tulisan Naqiat ad-Din Syah Berdaulat pada bagian belakangnya.
Namun pada masa ini terjadi bencana besar bagi kerajaan Aceh, yaitu terbakarnya masjid raya Baiturrahman. Penyebab kebakaran masjid belum diketahui sampai sekarang. Sultanah Naqiatuddin hanya memerintah selama 2 tahun, masa pemerintah yang singkat dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Ia mangkat pada minggu 23 Januari 1678 M.

3. SULTANAH INAYAT ZAKIATUDDIN SYAH (1678-1688)
Inayat Zakiatuddin Syah diangkat menggantikan Naqiatuddin. Ia dikenal sebagai seorang sultanah yang bijak, berpengetahuan luas dalam berbagai bidang. Ia bahkan menguasai bahasa Arab, Persia, Urdu, Spanyol dan Belanda yang dipelajarinya dari seorang perempuan Belanda yang bekerja di Kraton Daud Dunia sebagai Sekretaris Sultanah. Menurut orang-orang Inggris yang mengunjungi Aceh pada tahun 1684, umur Inayat waktu itu diperkirakan sekitar 40 tahun. Ia digambarkan berbadan tegap dan memiliki suara yang keras. Ratu Inayat Syah mempercayakan Abdul Rauf As-Singkili sebagai penasehatnya. Ia juga meminta Abdul Rauf As-Singkili untuk mengarang sebuah kitab, yaitu sebuah komentar terhadap kumpulan Arba'in kompilasi dari 40 buah hadits yang berasal dari Nawawi (ulama mazhab Syafi'i).
Ada dua hal menarik yang bisa diangkat sehubungan dengan pemerintah Ratu Inayat Syah, pertama, tentang kedatangan orang-orang Inggris. Kedatangan orang-orang Inggris ke Aceh ketika itu adalah bertujuan untuk mendirikan kantor dagang yang diperkuat dengan benteng pertahanan sendiri. Namun Sultanah mengambil kebijakan yang tidak memperbolehkan benteng pertahanan, karena itu akan membahayakan kerajaan Aceh., pihak Inggris hanya diberi kesempatan untuk mendirikan kantor dagang di pelabuhan Aceh. Sikap diplomatis ini menunjukkan kekuatan bargaining politik Sultanah.
Kedua, tentang kedatangan utusan dari Mekkah. Mengenai hal ini, tidak terlepas dari upaya kaum wujudiah penentang sultan perempuan, di mana pada masa kekuasaan Zakiatuddin Inayat Syah, mereka mengadu persolan kepemimpinan wanita kepada Syarif di Mekkah yang lantas mengirim utusan ke Aceh. Utusan tersebut bernama El Hajj Yusuf E. Qodri, Sultanah menerima Hajj Yusuf dengan suatu upacara kebesaran dan menunjukkan perjalanan pemerintahannya. Sekembalinya ke Mekkah, Hajj Yusuf menyampaikan kepada Raja Syarif, betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Sultanah di Aceh, rakyatnya pun taat beragama Islam, hidup rukun dan damai dalam kemakmuran di mana-mana. Utusan tersebut kagum melihat kemakmuran Kutaraja sebagai Kota Internasional.
Menurut beberapa catatan, Sultanah Inayat Syah mangkat pada hari Minggu 7 Dzulhijjah 1099 H atau tanggal 3 Oktober 1688, ia memerintah dalam rentang waktu 10 tahun lamanya.

4. SULTANAH KAMALAT SYAH (1688-1699)
Kamalat Syah menggantikan Ratu Zakiatuddin, silsilah keturunannya tidak diketahui dengan jelas, beberapa sumber memberikan perkiraan yang berbeda. Di satu pihak ada yang mengatakan bahwa Kamalat Syah adalah anak angkat Safiatuddin Syah, tetapi di lain pihak ada yang mengatakan adik Zakiatuddin Syah. Namun, kedua pihak tersebut memperlihatkan persamaan perkiraan, bahwa Kamalat Syah memang berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh. Kaum Wujudiah pada masa ini masih tetap tidak menyetujui adanya Sultan perempuan. Syarif Hasyim salah satu dari mereka, akhirnya berjodoh dengan Ratu Kamalat Syah. Sementara itu kaum Wujudiah terus menerus mengadu kepada Syarif Mekkah sehingga datanglah surat Mufti Mekkah yang menegaskan ketidak-setujuannya perempuan menjadi Sultanah Aceh. Surat tersebut lalu dirembuk bersama oleh kalangan pembesar negara dan dimenangkan oleh kelompok anti Ratu Perempuan. Pada hari Rabu 1 Oktober 1699 Ratu Kamalat Syah dimakzulkan (diturunkan) dari tahta dan diganti oleh suaminya, Syarif Hasyim.

C. PERANAN AR-RANIRY DAN ABDUR RAUF TERHADAP KEPEMIMPINAN SULTANAH
Dalam masa pemerintah para sultanah di kerajaan Aceh, terjadi pertentangan tentang naiknya tahta seorang perempuan. Pertentangan ini nampaknya, dimenangkan oleh kalangan pendukung bahwa perempuan boleh menjadi seorang sultan walaupun pada akhirnya Ratu Kamalat Syah dimakzulkan. Dalam hal ini, peranan dua ulama besar yang dimiliki kerajaan Aceh pada waktu itu, mampu memberikan solusi yang terbaik dalam mewujudkan perdamaian antara dua pihak yang saling bertentangan. Kedua ulama tersebut adalah Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili.

1. SYEIKH NURUDDIN AR-RANIRY
Setelah Iskandar Tsani mangkat, amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Lalu seorang Ulama Besar, Nuruddin Ar-Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum ulama, sehingga Ratu Safiatuddin diangkat menjadi sultanah, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Namun, bagaimanapun kenyataan yang menjadi rujukan ahli sejarah telah mengingatkan kita bahwa Aceh pada masa dulu telah memberi perhatian yang besar bagi kaum perempuan, analisis yang lebih menarik bahwa Aceh ketika itu telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara yang benar-benar demokratis di permukaan bumi. Aceh dalam lintas historis dikenal sebagai kerajaan yang sangat memperhatikan sosok ulama, artinya ulama dan umara (sultan) itu berjalan sinergis dalam mewujudkan berbagai program yang akan dilakukan sultan. Bahkan dalam Qanun al Asyi atau Adat Meukuta Alam ditetapkan bahwa sultan dan ulama harus menjadi Dwi Tunggal. Artinya, sultan dan ulama tidak boleh jauh atau bercerai, sebab jikalau bercerai maka binasalah negeri. Di samping itu, ulama dalam pandangan masyarakat sangat dihormati bahkan diikuti setiap hukum yang difatwakan. Karena adanya sikap kerjasama ini, maka berbagai hal yang berkenaan dengan kebijakan kerajaan tidak pernah luput dari perhatian ulama untuk memberikan pengarahan pada masyarakat. Keadaan ini masih terlihat sampai dengan era Snouck Hurgronje.
Pada masa Iskandar Tsani, salah seorang ulama yang cukup berpengaruh adalah Nuruddin Ar-Raniry, ketika sultan mangkat Ar-Raniry masih hidup. Jadi pergantian kepemimpinan dari sultan ke sultanah ketika itu dalam pengawasan dan dukungan dari Ar-Raniry itu sendiri. Penulisan tentang sejarah hidup ulama besar ini telah banyak dikerjakan orang, terutama oleh para sarjana Bangsa Belanda, antara lain: P. Voorhoeve, G.W.J. Drewes, C.A.O. van Nieuwenhuijze dan lain-lain. Dari kalangan para ahli sejarah Indonesia, seperti R. Hoesin Djajdiningrat dan Tujimah.
Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang sarjana agama, ulama dan sejarawan. Daerah asalnya adalah Ranir, Gujarat, India, datang ke Aceh pada tahun 31 Mei 1637, yaitu pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Walaupun bukti-bukti dokumentasi tidak ada, akan tetapi dapat diduga bahwa Ar-Raniry telah pernah datang ke Aceh pada masa pemerintah Iskandar Muda. Hanya karena tidak ada penerimaan dari pihak sultan ia melanjutkan perjalanannya ke Semenanjung Tanah melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai tempat menetap.
Sebagaimana diketahui, pada waktu Iskandar Muda berkuasa di Aceh, ulama yang sangat berperan dan menonjol adalah Syamsuddin Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah sultan dan bertindak sebagai penasehat dan mufti kerajaan. Sedangkan paham wujudiyah merupakan ajaran resmi dan direstui oleh sultan, di mana paham ini bertentangan dengan pemikiran Ar-Raniry. Hal ini terlihat pada masa-masa berikutnya, ketika Ar-Raniry kembali ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani, dan dipercayakan sebagai mufti terjadi pertentangan pemikiran yang tajam dengan paham wujudiyah.
Tentang bagaimana dukungan atau peranan Ar-Raniry untuk meligitimasi kepemimpinan seorang perempuan atau sultanah bisa dilihat dari sebuah kitab yang ditulisnya, yaitu "Bustanul Salatin", dalam kitab ini Ar-Raniry memberi dukungan yang cukup besar bagi Safiatuddin untuk menjadi sultanah bagi kerajaan Aceh. Ini bisa dilihat dari pujian-pujian yang disampaikan Ar-Raniry dalam Bustanul Salatin –sebagaimana dikuti Mohammad Said- yaitu:
Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad saw dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulah dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang saleh dan sembahyang menuntut ilmu. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung khalifahnya.

Dari kutipan di atas, tergambar dengan jelas bagaimana dukungan yang diberikan oleh Ar-Raniry untuk Safiatuddin, ketika itu Ar-Raniry benar-benar sebagai seorang ulama yang terpandang dan menjadi panutan masyarakat. Walaupun pada awalnya ada pro dan kontra terhadap naiknya tahta seorang wanita, pada akhirnya keadaan sangat stabil bahkan semua panglima-panglima sagoe serta masyarakat patuh terhadap kepemimpinan Safiatuddin. Ar-Raniry berada di Aceh hingga tahun 1644, yang berarti ia hanya berada di Aceh sekitar 3 tahun pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Pada masa tiga tahun tersebut ia senantiasa berada dalam kedudukan penting dalam pemerintahan, mendampingi sultanah di bidang agama. Tentang sebab musabab kembalinya Ar-Raniry ke kampung halamannya tidak diketahui secara pasti, padahal Safiatuddin ketika itu masih mempercayai jabatan bidang agama kepadanya. Tentang hal ini bisa saja menjadi suatu hal menarik untuk dikaji lebih lanjut.


2. SYEIKH ABDUL RAUF AS-SINGKILI
Salah satu ulama besar lainnya yang memberikan dukungan kepada para sultanah adalah Abdul Rauf. Nama lengkapnya adalah Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Fansuri Al-Singkili, lahir sekitar tahun 1620 di kota Singkil, Aceh Selatan. Abdul Rauf menuntut ilmu ke tanah Arab pada usia 19 tahun, ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661, berarti ia meninggalkan Aceh pada tahun 1642. Ketika ia kembali ke Aceh, kekuasaan telah dipegang oleh Sultanah Safiatuddin. Di mana kepemimpinan Safiatuddin telah dikukuhkan oleh pengakuan Ar-Raniry sebelum Abdul Rauf berada di Aceh.
Salah satu karya besarnya adalah Mir'at at Tullab, kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin, dalam pendahuluan dari kitab tersebut, sebagaimana dikutip oleh T. Ibrahim Alfian, Abdul Rauf menggambarkan bagaimana kepemimpinan Safiatuddin:
Maka bahwasanya adalah Hadarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Taj al 'Alam Safat al Din Syah) itu telah bersabda kepadaku daripada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukmi daripda segala hukum syara' Allah yang mu'tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi'i radiallahu 'anhu…

Dalam pengantar yang di tulis oleh Abdul Rauf terlihat dengan jelas bagaimana seorang ulama memberikan penghargaan yang cukup besar dan tinggi kepada seorang sultanah. Bahkan dengan menggunakan kalimat puji-pujian "Hadarat yang Mahamulia". Ini merupakan suatu bukti yang kongkrit bahwa Abdul Rauf As-Singkili dapat menjalin kerjasama dengan seorang sultanah tanpa melakukan diskriminasi sebagai yang telah diupayakan oleh golongan-golongan lain dalam menentang kepemimpinan seorang wanita. Bahkan pada masa-masa berikutnya pasca mangkatnya Safiatuddin, Abdul Rauf As-Singkili tetap mengambil peranan yang cukup besar dalam mempertahankan kepemimpinan sultanah di kerajaan Aceh. Hal ini terlihat, pada masa Naqiatuddin dengan mengusulkan perombakan sistem pemerintahan yang di bagi dalam tiga sagoe.
Kedudukannya yang sangat berpengaruh sebagai Qadi yang secara terus-menerus melakukan upaya-upaya dan memutuskan kebijaksanaan tertentu dalam mewujudkan kehidupan beragama dalam kerajaan Aceh. Pada akhir abad ke-17 muncul keinginan golongan tertentu untuk mengakhiri kepemerintahan ratu wanita di Aceh. Hal ini diakibatkan tidak adanya ulama yang kharismatik yang mendukung kepemimpinan wanita sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Rauf As-Singkili (w. 1690), sikap Abdul Rauf ketika itu telah menjadi pedoman oleh rakyat dalam menghadapi soal pro dan kontra terhadap pemerintahan wanita. Setelah 6 Tahun Abdul Rauf meninggal timbullah keinginan untuk mengakhiri pemerintahan ratu. Yaitu, dengan dimakzulkan Kamalat Syah pada tahun 1699, Menurut data sejarah, Sultanah Kamalat Syah baru meninggal setahun setelah dimakzulkan yaitu pada tahun 1700.
D. KESIMPULAN
Kepemimpinan para ratu wanita dalam sejarah kerajaan Aceh merupakan suatu hal yang menghadirkan decak kagum dunia dan kajian para peneliti sejarah. Hal ini dikarenakan pada masa itu kaum wanita dipandang tidak bisa menjadi pemimpin, kedudukannya lebih rendah daripada seorang laki-laki. Tetapi naiknya tahta wanita pada masa tersebut, juga tidak terlepas dari intrik-intrik pertentangan, di mana suatu pihak mendukung bahwa wanita dijadikan sebagai sultan, namun pihak lain menentang bolehnya wanita menjadi sultan.
Pertentangan ini, terlihat didominasi oleh golongan pertama. Dalam hal ini, peranan yang telah "dimainkan" oleh Ar-Raniry pada masa-masa awal naiknya Sultanah Safiatuddin menjadi suatu faktor penentu, di samping kecakapan Safiatuddin yang telah berpengalaman dalam mengatur pemerintah, karena ia adalah puteri dari Sultan Iskandar Muda, sekaligus sebagai permaisuri dari Sultan Iskandar Tsani.
Sepeninggalnya Ar-Raniry, kembalinya Abdul Rauf As-Singkili dari Arab ke Aceh, menjadi faktor penentu kedua dalam proses bertahannya kepemimpinan ratu. Hal ini terlihat, karena setelah 6 tahun meninggalnya Abdul Rauf As-Singkili, golongan yang menentang kedudukan wanita sebagai sultan kembali mempunyai kedudukan yang kuat, sehingga Sultanah Kamalat Syah sebagai pewaris tahta terakhir dari kalangan wanita dapat dimakzulkan dan posisinya digantikan oleh kaum laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadim Zallun, Sistem Pemeritahan Islam, Terj. M. Maghfur W, Bangil-Jatim: al Izzah, 2000.

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar Raniry, Jakarta: Rajawali, 1993.

-------, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry: Sejarah, Karya dan Sanggahan terhadap Wujudiyah di Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, t.t,.

Ali Hasjmy, dkk. (ed), 80 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: Majelis Ulama Indonesia- Aceh, 1995.

Al Ghazali, al Iqtishad fi al I’tiqad, (Kairo: t.p., 1320 H)

Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Mardanas Safwan, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981.

Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail, "Ratu Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah", dalam dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta, Agung Offset, 1994.

Rusdi Sufi, "Sultanah Safiatudin Syah", dalam Ismail Sofyan, dkk. (ed), Wanita Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah, Jayakarta, Agung Offset, 1994.

Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, dkk., Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.

T. Ibrahim Alfian, Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, 1979.

-------, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.

0 komentar: