Jumat, 15 April 2011

EKSISTENSI WANITA ACEH DALAM PERANG KOLONIAL BELANDA

EKSISTENSI WANITA ACEH DALAM PERANG KOLONIAL BELANDA
(Legitimasi Ideologis Bagi Srikandi dan Pasukan Inong Balee Masa Kini)

A. Pendahuluan
Peninggalan sejarah seringkali merupakan fragmen-fragmen lepas yang tidak memberikan gambaran yang lengkap akibat keterbatasan media yang ada di masa lalu. Itulah sebabnya, sebelum semuanya lenyap, kiranya perlu buku-buku yang lebih dekat, yang masih mempunyai saksi-saksi hidup, seperti peran wanita Aceh dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, keberanian dan kesatriaan wanita Aceh.
Setiap daerah mempunyai cerita khas yang mungkin tidak ditemukan di daerah lainnya. Sejarah Aceh, memberikan relatif banyak cerita khas tentang wanita Aceh, salah satu kekhasan itu adalah cerita tentang keterlibatan wanita dalam aktifitas pilitik praktis seperti sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan dan sebagai pimpinan dalam peperangan.

Peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan ditandai dengan bukti sejarah berupa batu nisan makam dari dua orang ratu. Bukti yang pertama adalah, tidak jauh dari ladang gas Arun, di kecamatan Matangkuli, desa Minye Tujoh, kabupaten Aceh Utara, ditemukan makam seorang ratu, Malikah Nur Ilah. Ratu Pasai ini, yang mangkat pada tahun 1380, tidak saja menjadi raja di Pasai, tetapi juga menguasai Kedah, yang terletak di seberang Selat Malaka, di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu. Jejak-jejak sejarah yang tersisa tentang ratu ini tidaklah banyak, kecuali dua batu nisan yang bertuliskan huruf Arab dan huruf Jawa Kuno ditempat peristirahatan terakhirnya.
Peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan yang kedua ditandai dengan bukti sejarah berupa batu nisan makam yang terbuat dari batu pualam yang terletak di Aceh Utara. Makam tersebut adalah makam Ratu Nahrasiyah (meninggal hari senin, 27 September 1428), dan merupakan makam Islam yang terindah di seluruh Asia Tenggara, yang hampir penuh dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an. Sayang sekali sumber sejarah mengenai Ratu ini amat langka. Walaupun memerintah lebih dari dua puluh tahun, namun Ratu ini tidak mengeluarkan mata uang sebagaimana lazimnya Raja-raja Pasai lainnya.
Puncak dari peran wanita Aceh di dalam lapangan pemerintahan adalah pada era empat orang suntanah (ratu) yang memerintah kerajaan Aceh selama hampir enam puluh tahun (1641-1699) secara berturut-turut. Ratu yang pertama adalah Sultanah Taj al-Alam Safiatuddin Syah (1641-1675). Menurut -Profesor Kehormatan di Monash University- M. C. Ricklef, setelah Iskandar Tsani meninggal, kalangan elite Aceh menegakkan pengaruh dan kepentingan pribadi mereka dan mencegah munculnya penguasa penguasa kuat lainnya di Aceh sampai abad XIX. Mereka menempatkan janda Iskandar Tsani (putri Iskandar Muda) di atas tahta dengan gelar Ratu Taj al-Alam (1641 M.).
Sultanah yang kedua adalah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), sultanah yang ketiga Inayatsyah Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan sutanah yang terakhir Zainatuddin Syah (1688-1699). Masing-masing mereka telah mengeluarkan mata uang emas (deureuham) yang digunakan sebagai alat tukar yang sah. Wanita yang pernah menduduki jabatan uleebalang diantaranya adalah Cut Nyak Asiah di Aceh Utara, dan Pocut Baren di Aceh Barat.
Dalam lingkungan perjuangan di Aceh terdapat sederetan nama, baik yang sudah cukup terkenal maupun yang belum tercatat namanya dalam lembaran sejarah.
Diantara berbagai aktivitas wanita Indonesia -baik dalam bidang ekonomi, sosial, agama, pendidikan dan politik, aktivitas politik dan militerlah yang akan mendapatkan legitimasi dari para “Srikandi/Inong Balee/Ureung Inong” (wanita teladan Aceh) yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Untuk itu, yang diangkat menjadi fokus permasalahan adalah bagaimana peran para wanita Aceh baik yang janda ataupun yang mengikuti suami-suami mereka dengan mengembara dari satu tempat/hutan ke hutan yang lain, untuk sebuah perjuangan yang hasilnya waktu itu tak pernah pasti.
Perlawanan yang melibatkan banyak wanita adalah perlawanan terhadap kolonialis Belanda di Aceh (1873-1942). Laksamana Keumalahayati (±1530 - ±1607), Cut Nyak Dhien (1848-1909), Cut Nyak Meutia (1870-1910), Pocut Meurah Intan dan sejumlah nama lainnya adalah figur-figur terkemuka dalam rangka mencoba melawan dan mengusir bangsa asing –agresor yang telah merusak keharmonisan kehidupan dan jaringan perdagangan- dari kawasan Selat Malaka, yang pada akhirnya menjelma menjadi penjajah yang biadab.

B. Figur-Figur Wanita Pejuang Kemerdekaan
Menjelajahi sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imperialisme adalah menjumpai sejumlah wanita yang ikut aktif di dalamnya. Dalam perang yang berlangsung lebih dari enam puluh tahun itu pengaruh dan peranan wanita telah mengagumkan dan mengherankan pihak penjajah sendiri. Wanita Aceh tidak pernah ragu mempertaruhkan jiwa raganya dalam mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal kebangsaan dan keagamaan.

1. Laksamana Keumalahayati (±1530 - ±1607)
Sebelum kita melangkah jauh ke masa perang kolonia Benda, alangkah baiknya kita menyimak secuil sejarah perjuangan Laksamana Keumalahayati, sebagai latar belakang lahirnya pasukan Inong Balee yang bermula dari ide Keumlahayati agar para wanita janda dapat menuntut balas atas kematian suami mereka. Keumalahayati adalah figur wanita Aceh yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayatsyah al-Mukammil (1589-1604). Sebelum diangkat sebagai admiral, Keumalahayati pernah menjabat sebagai komandan/pemimpin pasukan ketentaraan wanita, yang anggotanya terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara kerajaan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati sendiri.
Pada awal abad ke-17, Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat, yakni kapal-kapal perang yang dimiliki armada lautnya dan pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya. Bermula dari ide Keumalahayati, dibentuklah sebuah pasukan wanita yang dinamakan Armada Inong Balee. Untuk kepentingan pasukan ini dan juga sebagai tempat pangkalan mereka, didirikan sebuah benteng Kuta Inong Balee (benteng wanita janda). Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumalahayati mengkordinasikan sejumlah pasukan laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar dan juga kapal-kapal jenis galey (kapal perang) milik kerajaan Aceh, yang berjumlah 100 buah kapal perang dengan kapasitas muatan 400-500 penumpang.
Kekuatan Keumalahayati sebagai laksamana sebagai laksamana mulai memasuki ujian berat ketika untuk pertama kalinya terjadi kontak antara Kerajaan Aceh dengan pihak Belanda. Dua buah kapal Belanda –yang dipimpin oleh dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman- berlabuh di Aceh pada tanggal 21 Juni 1599 dan mendapat sambutan yang baik dari pihak Aceh. Namun, dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan seorang penerjemah Sultan, orang Portugis, mereka dibenci oleh Sultan. Pihak Aceh –yang dipimpin Laksamana Keumalahayati- kemudian melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda yang sedang berada di kapal mereka.
Dalam penyerangan itu Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh selama dua tahun. Menjelang tahun 1602 -untuk kesekian kalinya dengan armada yang berbeda- pedagang-pedagang Belanda yang dipimpin Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal tiba dia Aceh. Mereka sengaja datang atas perintah Pangeran Martunis dari negeri Belanda. Selanjuttnya, Sultan Aceh bersedia menerima mereka di istananya, dan memberi izin berdagang di Aceh serta Frederick de Houtman dibebaskan setelah pihak Belanda yang dipimpin Bicker berhasil meyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati.
Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi laksamana adalah pengiriman tiga utusan Aceh menghadap pangeran Martunis dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Pada bulan Juni 1906 orang-orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro datang menyerang Aceh. Keumalahayati bersama Darma Wangsa –yang nantinya akan bergelar Iskandar Muda- akhirnya berhasil mengusir Portugis.

2. Cut Nyak Dhien (1848-1909)
Cut Nyak Dhien adalah salah seorang dari sekian jumlah wanita yang aktif dan berperan dalam perang dengan Belanda pada tahun 1896 dan tahun-tahun berikutnya . Dalam catatan sejarah, Cut Nyak Dhien telah melaksanakan peranan-peranan yang biasanya hanya diperuntukkan atau dicadangkan untuk kalangan pria. Cut Nyak Dhien telah berjuang dalam masa yang cukup lama.
Pada saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh tahun 1873, Cut Nyak Dhien yang baru saja menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, juga dipanggil Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku di Bitai, mengikhlaskan dan memberikan dorongan serta semangat juang bagi suaminya untuk ikut berperang menghadapi pihak Belanda bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya. Pada tanggal 29 Juni 1878, dalam pertempuran di lembah Beuradeun Glee Taron, kemukiman montasik, Sagi XXV Mukim, Teuku Ibrahim, suami Cut Nyak Dhien, dan beberapa pengikutnya gugur.
Pada tahun 1878 itu juga, beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien (berusia ± 30 tahun) menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Cut Nyak Dhien terpikat karena Teuku Umar terkenal dengan keperkasaannya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda dan keberhasilannya menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan Teuku Ibrahim Lamnga. Setelah Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien membuat siasat berpura-pura menyerah kepada Belanda -mereka mendapat berbagai fasilitas- pada tanggal 29 Maret 1896 Teuku Umar bersama para pengikutnya membelot kembali dan melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda.
Akibatnya, pihak Belanda marah dan menyatakan perang kepada Teuku Umar -bukan kepada Aceh- dan tertutupnya peluang bagi Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien untuk tetap tinggal di wilayahnya. Bersama-sama dengan rekan-rekan seperjuangannya yang setia, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien meneruskan perjalanannya dari rimba ke rimba dan dari jurang ke jurang. Kadang kala, mereka terpaksa meninggalkan Cut Nyak Dhien di hutan yang aman untuk mencoba menyerang Belanda. Pada tanggal 11 Februari 1899, dalam sebuah pertempuran di Suak Ujung Kalak Meulaboh, Teuku Umar syahid tertembak oleh militer Belanda.
Setelah Teuku Umar meninggal, ia memilih melajutkan perjuangan dengan hidup di dalam rimba (± selama 6 tahun), daripada menyerah pada Belanda yang terus-menerus mengejar dirinya dan rombongannya. Sifat kepahlawanan Cut Nyak Dhien adalah warisan dari ayahnya -Teuku Nanta Setia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim- yang merupakan salah seorang pejuang dalam menentang kolonialis Belanda.
Sifat kepahlawanan tampak begitu dominan ketika pada saat Cut Nyak Dhien mengambil alih pimpinan perang segera setelah setelah kedua suaminya syahid. Perjuangannya baru berakhir setelah ia ditangkap Belanda. Dalam kesehatannya yang terganggu, matanya yang rabun, ia masing mengkordinasi pengikutnya untuk menyerang Belanda. Akhirnya, ia harus menerima kenyataan berupa hukuman pembuangan dari Aceh ke Sumedang, Jawa Barat, sampai ia meninggal di tempat itu pada tanggal 9 November 1908.

3. Cut Nyak Meutia (1870-1910)
Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka-pun mlampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal sebagai lelaki yang kuat dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka. Mereka menerima kodrat dan hak asasinya di medan perang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan. Mereka berperang di jalan Allah dan menolak segala macam kompromi. Sehingga, adalah hal yang wajar apabila terdapat diantara para wanita Aceh itu wanita yang tidak mau lagi mengakui suaminya karena telah bekerja sama dengan pihak penjajah.
Diantara wanita yang semacam ini, dan yang telah memimpin perlawanan sampai titik darahnya yang penghabisan adalah Cut Nyak Meutia. Srikandi ini tidak kalah satrianya jika dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dan srikandi-srikandi lainnya. Wanita kelahiran Keureutoe (Matang Kuli) ini selain wajahnya cantik nan ayu yang sesuai dengan namanya, juga seorang tokoh pemberani dan agung. Dari sekian banyak pinangan yang datang, yang diterima oleh Cut Nyak Meutia dan Keluarga, adalah pinangan yang berasal dari Cut Asiah yang ingin menikahkan puteranya Teuku Syamsarif. Mereka menikah pada tahun 1890.
Cut Meutia menganggap Belanda sebagai musuh besar, sebagaimana yang ada dalam hati ayah, saudara-saudaranya, serta pejuang muslim lainnya. Inilah kepribadian yang tertanam kokoh dalam dirinya, sesuatu yang tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh suaminya. Berbeda dengan Cut Meutia, Teuku Syamsarif adalah tipe seorang uleebalang yang senang pada kedudukan, kemewahan, serta martabat yang tinggi. Untuk memenuhi kesenangannya itu, ia bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Perbedaan sikap dan kepribadian itulah yang akhirnya membuat kedua pasangan tersebut berpisah. Sebenarnya, Cut Meutia telah berusaha mengubah pendirian suaminya, untuk menghentikan kerja sama dengan pihak penjajah, selanjutnya memberikan bantuan kepada pejuang-pejuang bangsanya yang bergerilya di hutan-hutan. Akan tetapi, Teuku Syamsarif yang dibesarkan dalam keluarga yang berpihak pada penjajah itu semakin akrab dengan Belanda, dan diangkat sebagai uleebalang Keureutoe oleh Van Heustz -menggantikan ibunya, Cut Nyak Asiah- dengan gelar Teuku Chik Bentara atau Teuku Chik di Baroh..
Pengangkatan suaminya tersebut sangat melukai hati Cut Meutia, karena jauh sebelumnya, Sultan Aceh Muhammad Daud Syah telah mengangkat Teuku Cut Muhammad (adik Teuku Syamsarif sendiri) sebagai uleebalang Keureutoe yang digelari Teuku Chik Tunong, dengan suatu surat keputusan “Sarakata Sultan” yang lengkap dengan “Cap Sultan”. Pengangkatan Teuku Syamsarif di atas, sesungguhnya merupakan salah satu upaya Belanda untuk memecah belah bangsa. Karena waktu itu di Keureutoe terdapat dua orang uleebalang, yang satu diangkat oleh Sultan Aceh, sedangkan yang lainnya diangkat oleh Belanda.
Akhirnya, karena tidak sanggup menahan penderitaan batin yang sangat berat karena harus hidu dalam situasi yang bertentangan dengan prinsipnya, -setelah terjadi dialog- Cut Meutia meminta kepada suaminya agar dirinya diceraikan saja dan dikembalikan kepada ayahnya di Pirak. Ia ingin bergabung dengan ayah dan saudara-saudaranya yang masih berjuang membela kedaulatan tanah airnya. Beberapa waktu setelah dialog itu, Cut Nyak Meutia meninggalkan Keureutoe kembali ketempat ayahnya di Pirak.
Karena tidak pernah menjemput dan memberi nafkah pada isterinya, Teuku Syamsarif dinyatakan dipasah dari isterinya. Sesudah bercerai, timbullah hasratnya untuk bergerilya ke daerah pegunungan bersama ayah dan saudara-saudaranya. Keinginan itu ternyata tidak dikabulkan sang ayah karena ia masih janda. Hasrat itu baru terwujud begitu ia menikah dengan Teuku Cut Muhammad (Teuku Chik Tunong). Bersama suaminya Cut Nyak Meutia menemukan kembali identitasnya sebagai pejuang sejati dengan selalu mendampingi suaminya dalam setiap pertempuran dan penyerangan yang dilakukan terhadap Belanda.
Teuku Chik Tunong bukan hanya seorang uleebalang yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, juga merupakan seorang pemimpin muslim yang ditaati oleh pengikutnya dan ditakuti oleh Belanda. Dengan dibantu oleh Cut Meutia, ia dapat melakukan penyerangan secara mendadak bagaikan kilat, sekali di sini, sekali di sana, dan kemudian menghilang jauh. Ia sangat bijaksana, cukup mahir dalam strategi penyerangan yang akan dilakukan terhadap musuh. Semakin bertambah kewibawaannya karena bersamanya ikut pula ulama terkemuka antara lain adalah Teungku Chik Paya Bakong, Teungku di Mata ie, dan Teungku di Barat. Panglimanya yang terkemuka adalah Pang Nanggroe.
Berkat strategi -penyiasatan mematai-matai dan memancing musuh ke suatu tempat- yang disusun dengan jitu, Teuku Chik Tunong-Cut Nyak Meutia dapat memperoleh beberapa kemenangan yang gemilang. Sebaliknya, hal itu merupakan pukulan besar bagi Belanda. Pada tanggal 5 Oktober 1903 ia dan isterinya turun dari tempat gerilya dengan berpura-pura menyerah. Akhirnya, Teuku Chik Tunong yang pura-pura menyerah kepada Belanda, ditangkap pada tanggal 5 Maret 1905, dan dihukum mati setelah peristiwa terbunuhnya serdadu Belanda yang sedang istirahat di dalam bivak di Meunasah Kampung Meurandeh Paya. Setelah pihak Belanda meneliti, ternyata Teuku Chik Tunong terlibat sebagai dalang peristiwa yang terjadi pada tanggal 26 Januari 1905 tersebut.
Sebelum menjalani hukumannya, Teuku Chik Tunong meminta kepada Belanda agar dapat bertemu dengan isterinya, Cut Nyak Meutia dan dengan anaknya yang masih berumur 5 tahun, Teuku Raja Sabi untuk terakhir kalinya. Pertemuan tersebut dimamfaatkan untuk melepaskan rasa rindu dan salam perpisahan, serta –yang paling utama- Teuku Chik Tunong memberikan amanah pada isterinya, yakni: 1) agar Cut Nyak Meutia melanjutkan perlawanan terhadap Belanda; 2) agar anaknya dididik untuk terus mendendam terhadap penjajah; 3) agar Cut Nyak Meutia bersedia menikah dengan Pang Nanggroe.
Sesuai dengan sumpah yang diucapkan dihadapan suaminya, Cut Meutia, setelah selesai melaksanakan persalinan anaknya, ia segera memberitahukan kepada Pang Nanggroe pesan terakhir suaminya. Pada awalnya, Pang Nanggroe –yang pengikut setia Teuku Chik Tunong- terkejut dan merasa tidak sekufu-sepadan untuk beristerikan Cut Nyak Meutia. Akan tetapi, akhirnya mereka melaksanakan perkawinan sesuai dengan amanah Teuku Chik Tunong.
Perlawanan yang diberikan Cut Nyak Meutia bersama Pang Nanggroe –seorang penentang kompeni yang tangguh, cerdik, dan dilahirkan sebagai gerilyawan- menjadi lebih dahsyat daripada yang pernah dilakukannya bersama suaminya terdahulu. Bersama pengikutnya dan dengan dibantu oleh para ulama, mereka kembali bergerilya dengan membawa Raja Sabi –anak satu-satunya- kemanapun mereka pergi. Penyerangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe sangat bervariasi, dengan berbagai bentuk rancangan penyerangan.
Pemerintah Belanda mengerahkan perwira-perwira berpengalaman dan handal dalam melakukan setiap operasi, untuk menghadapi kegigihan dan ketangguhan pasukan Cut Nyak Meutia-Pang Nanggroe. Pemerintah Belanda juga membentuk kolone khusus yang dipimpin oleh Christoffel yang diberi nama “Kolone Macan”. Sejak tahun 1908 pemerintah Belanda memusatkan pertahanannya di Panton Labu dan Lhoksukon. Kemudian, mereka mendirikan bivak-bivak di Keureutoe, Matang Kuli, Pirak, Paya Bakong, dan sekitarnya. Tujuannya untuk lebih mengintensifkan pengejaran atas Pang Nanggroe, Cut Meutia, dan para pengikutnya.
Mulai awal tahun 1910 kekuatan Pang Nanggroe tidak lagi sehebat sebelumnya meskipun penggempuran terhadap Belanda masih terus dilakukannya, akan tetapi –berbeda dari sebelumnya- dalam berbagai peperangan itu pasukan Pang Nanggroe-Cut Meutia beberapa kali terkepung. Pada tanggal 20 September 1910, dalam suatu pertempuran dahsyat di Paya Cicem Pang Nanggro syahid tertembak dalam jarak dalam jarak 200 meter. Sebelum syahid ia memberikan wasiat pada Teuku Raja Sabi “lekaslah lari…susul ibumu…saya akan meninggal”
Meskipun Pang Nanggroe sudah syahid, Cut Meutia dan Raja Sabi, beserta pengikutnya tidak menyerah kepada Belanda. Cut Nyak Meutia bertekad melanjutkan perjuangan bersama-sama para pengikutnya yang setia. Pada tanggal 25 Oktober 1910 Cut Nyak Meutia bersama tokoh-tokoh utama pasukannya –Teungku Paya Bakong, Teungku Mat Saleh, dan lima pengawalnya- yang berada di Hulu Sungai Peutoe meninggal, setelah dikejar sejak 22-10-1910, dikepung dan digempur oleh pasukan Belanda yang dikomandoi oleh Sersan Mosselman.
Dengan syahidnya Cut Nyak Meutia -yang harus merelakan nyawanya untuk mempertahankan tanah air setelah bertempur sampai tetes darah penghabisan di Krueng Peutoe- perjuangan rakyat Keureutoe belum berakhir. Puteranya, Teuku Raja Sabi yang selamat -karena pada saat pertempuran tersebut diatas ia sedang memancing di Sungai- masih memegang peranan dalam perjuangan dalam waktu yang lama.

4. Pocut Baren (wafat 1933)
Wanita lainnya yang terlibat dalam peperangan kolonial Belanda adalah Pocut Baren, wanita yang lahir –dan dibesarkan dalam suasana peperangan- di Tungkop ini adalah putri dari Teuku Cut Amat, uleebalang Tungkop. Sejak kecil ia telah dilatih dengan berbagai ujian berat yang mampu membentuk dirinya sebagai seorang yang kuat, berani, ulet, dan –yang terpenting- dengan semangat yang membara untuk memusuhi Belanda. Ia dengan rela meninggalkan kehidupan sebagai seorang puteri uleebalang dengan menggabungkan diri dengan pasukan pejuang yang hidup di rimba belantara, dengan menahan penderitaan.
Pengalaman dan penderitaan hidup mulai ia jalani semasa berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Baren telah terjun ke kancah pertempuran sejak masa muda, yakni tanggal 11 Februari 1899, sejak Cut Nyak Dhien –setelah Teuku Umar meninggal- memimpin sendiri gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pocut Baren telah menunjukkan kesetiaannya yang tinggi kepada Cut Nyak Dhien. Pengalaman bertempur yang diperoleh dari perjuangan bersama Cut Nyak Dhien semakin mempertegar pendiriannya dalam melawan Belanda, terutama ketika –sejak tahun 1903-1910- ia memimpin sendiri pasukannya.
Dengan demikian, Pocut Baren sesungguhnya telah memimpin sendiri pasukannya ketika Cut Nyak Dhien masih aktif dalam perjuangan. Pada saat itu di wilayah Aceh Barat terdapat dua orang pejuang wanita, yaitu Cut Nyak Dien dan Pocut Baren..Mereka sama-sama dilahirkan sebagai keturunan uleebalang serta mempunyai kesamaan tekat dan cita-cita, mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tanah airnya. Pada saat suaminya –seorang Keujreun yang menjadi uleebalang Gume- masih hidup, bersama sang suami ia berperang melawan Belanda, menggempur dan digempur oleh penjajah itu.
Dalam perjuangan itu Pocut Baren sadar sepenuhnya bahwa setiap saat nyawa diri dan suaminya terancam. Namun, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan baginya sehingga semangat perjuangannya pun tidak mengendor. Mereka tidak gentar menghadapi maut karena didalam hati masing-masing sudah tertanam suatu tekad yang bulat, yakni menang atau syahid. Dalam suatu pertempuran dengan Belanda, Keujreun Game –suami Pocut Baren- syahid terkena tembakan Belanda, dengan demikian, semua tugas memimpin pasukan jatuh ke pundaknya.
Pocut Baren menghimpun kembali pasukannya, memobilisasi penduduk di sekitar Kaway XII, untuk meneruskan perjuangan yang lebih intensif. Selain mempersiapkan pasukannya, wanita itu membangun sebuah benteng di Gunong Macan sebagai pusat pertahanannya, sekaligus pusat perencanaan segala penyerangan terhadap tangsi militer musuh. Pihak Belanda juga melakukan pengejaran yang tidak kurang intensifnya untuk memburu pasukan wanita itu.
Dalam upayanya mengejar pasukan Pocut Baren, pemerintah Belanda memeperbanyak serdadunya serta membangun tangsi di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah pasukan Belanda digerakkan untuk memburu pasukan Pocut Baren. Laskar Pocut Baren lebih sering melakukan penyerangan terhadap kedua tangsi Belanda tersebut. Seusai melakukan penyerangan, mereka kembali dengan selamat ke pusat pertahanan. Pekerjaan seperti ini dilakukan selama bertahun-tahun.
Betapa-pun mobil penyerangannya,betapa-pun kuat pertahanannya, Pocut Baren tidak dapat membuat pasukan-pasukan Belanda menyerah kalah dan menghentikan usaha perburuan pihak Belanda terhadap dirinya. Salah satu faktor penyebab Pocut Baren tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama adalah kekurangan di bidang persenjataan, jika dibandingkan dengan persenjataan Belanda. Pada tahun 1910, dalam suatu penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Belanda –pimpinan Letnan Hoogers yang diberangkatkan dari Kuala Bhee-terhadap benteng pertahanan Pocut Baren, telah membuat kaki Pocut Baren tertembak.
Luka kaki yang cukup berat, membuat Pocut Baren berhasil ditawan oleh Belanda dan dibawa ke Meulaboh. Setelah pihak Belanda berupaya melakukan berbagai jenis pengobatan -karena luka kaki Pocut Baren semakin parah- akhirnya Tim Dokter yang merawatnya –di Kutaraja- terpaksa melakukan amputasi terhadap kakinya. Setelah masa penantian keputusan yang panjang, akhirnya, Van Daalen, Gubernur Militer Aceh, menjatuhkan hukuman ke Pulau Jawa terhadap Pocut Baren. Akan tetapi atas saran seorang perwira T.J. Veltman, Pocut Baren dikembalikan ke daerahnya dengan status uleebalang.
Pocut Baren dikirim kembali ke Tungkop, setelah dianggap sembuh dan diyakini oleh pemerintah Belanda bahwa dirinya tidak akan melakukan perlawanan lagi. Dengan kembalinya Pocut Baren ke daerahnya sebagai uleebalang, berakhirlah masa perlawanan total wanita itu, perlawanan yang cukup menyulitkan pemerintah Belanda. Buktinya, sejumlah nama para pemimpin patroli yang ditugaskan sebagai pemburu Pocut Baren yang terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam peperangan.
Selain pemberani, ulet, dan suka berterus terang –menghormati musuhnya, Pocut Baren juga seorang yang sangat cerdas dalam pelaksanaan pekerjaannya sebagai uleebalang. Karena Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran. Daerah dan rakyat yang dipimpinnya menjadi makmur, aman, dan tertib. Uleebalang yang gagah berani dan sekaligus satrawan ini meninggal dunia pada tahun 1933.

5. Pocut Meurah Intan (wafat 1937)
Pocut Meurah Intan –juga biasa dipanggil Pocut Meurah Biheue- adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. ayahnya Keujruen Biheue, berasal dari keturunan Pocut Bantan. Biheue adalah sebuah kenegerian atau keuleebalangan yang pada masa jaya Kerajaan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXII mukim, Aceh Besar. Kemudian pada akhir abad XIX menjadi bagian wilayah XII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale, dan Laweueng. Dari perkawinannya dengan Tuanku Abdul Majid , Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu Tuanku Muhammad (yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muhammad Batee), Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.
Dalam laporan Kolonial Verslag tahun 1905, disebutkan bahwa hingga awal tahun 1904 satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya. Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda. Pocut Meurah Intan mengajak Putera-puteranya untuk tetap berperang.
Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya –dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang- Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Setelah pasukan Marsose Belanda semakin meningkatkan aktivitas patrolinya, pada bulan Februari 1900 Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Karena Tuanku Muhammad Batee dianggap masih berbahaya, pada tanggal 19 April 1900 figur tersebut dibuang ke Tondano.
Peningkatan intensitas patroli Belanda, juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Merah Intan dan kedua puteranya oleh suatu pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakuka perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. Sesaat setelah itu, pasukan Marsose membiarkan Pocut Meurah Intan –yang sedang sekarat, tubuhnya penuh luka-luka yang sangat parah, bahkan Belanda mengira tak lama lagi Pocut Meurah Intan pasti tewas dengan sendirinya- dan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan Pocut Meurah Intan meninggal di tangan bangsanya sendiri.
Beberapa hari kemudian, ketika pasukan Marsose berjalan-jalan di kedai Biheue (antara Sigli dan Padang Tiji) -sangat kaget segaligus menganggap suatu hal yang dungu- karena di sana mereka mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh seluruh penduduk dalam pemukiman itu. Ini merupakan suatu hal yang luar biasa, bahwa di dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang sangat agung.
Keadaan Pocut Meurah lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, namun ia tetap menolak bantuan dokter. Lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah oleh seorang Belanda. Walaupun begitu, karena dibujuk dengan rasa hormat akhirnya Pocut Meurah bersedia diobati Belanda. Masa penyembuhannya berjalan lama, akhirnya ia sembuh juga walaupun menjadi pincang selama hidupnya. Kemudian Pocut Meurah dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman.
Tuanku Nurdin, puteranya yang lain, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kale. Pada bulan Juni 1904, ia berpura-pura melapor atau menyerah kepada penguasa Belanda yang bermarkas di Padang Tiji, dengan tujuan agar pihak Belanda bersedia membebaskan ibu dan saudaranya yang sedang mendekam di penjara. Namun, pemerintah Belanda tidak memenuhi keinginan Tuanku Nurdin tersebut. Pada bulan Agustus tahun itu juga ia kembali lagi ke wilayah Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya meneruskan perlawanan terhadap Belanda.
Pada tanggal 1 November 1904 pasukan marsose yang dipimpin Letnan J.J Burger berhasil menemukan dan segera mengepung tempat persembunyian Tuanku Nurdin, yang ternyata di tempat itu selain terdapat pasukan Aceh, juga terdapat anak-anak dan wanita. J.J Burger terjatuh karena ditembak oleh Tuanku Nurdin sehingga menimbulkan kepanikan di pihak Belanda, pada saat itu, segera Tuanku Nurdin menyelinap dan meloloskan diri dari blokade Belanda.
Pada tanggal 18 Februari 1905, Tuanku Nurdin tertangkap setelah dikepung pasukan marsose pimpinan J.J Boreel di desa Lhok Kaju. Setelah Tuanku Nurdin ditahan bersama ibunya Pocut Meurah Intan, dan saudaranya Tuanku Budiman, pada bulan Mei 1905, Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya dan juga seoarang keluarga Sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora(Rembang), Pulau Jawa. Pocut Meurah Intan meninggal 19 September 1937.

C. Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sepanjang sejarah imperialisme dan kolonialisme di Indonesia mendapat berbagai perlawanan, baik besar maupun kecil. Setelah melalui perjuangan fisik yang melelahkan, perlawanan serupa itu menempati kedudukan yang istimewa dan mempunyai nilai yang tinggi, Indonesia memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedudukan dan nilai yang demikian diberikan pula kepada figur-figur yang berperan penting di dalamnya. Diantara sekian nama atau pahlawan tersebut terdapat para wanita Aceh, yang berperang di jalan Allah dan menolak segala macam kompromi.
Selama perang kolonial Belanda di Aceh, para wanita Aceh tidak hanya menjadi pemain yang pasif di balik layar, sebagai penyiap makanan di dapur ataupun pendorong semangat bagi suami dan anak-anaknya yang bertempur, melainkan terlibat secara aktif di samping suami dan anak-anaknya, ikut memanggul senjata menuju medan perang untuk menyerang musuh. Banyak pula diantara mereka yang menjadi penggerak massa, pemimpin perlawanan, berdiri di garis depan, mengomandokan perang di jalan Allah untuk melawan penjajah.
Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya, dia berada baik di belakang layar maupun secara terang-terangan menjadi pemimpin perlawanan terhadap penjajahan. Ia rela menerima hidup dalam kancah peperangan dan melahirkan puteranya ditempat itu. Ia berperang bersama-sama suaminya, tangannya yang kecil dan halus, kelewang dan rencong dapat menjadi senjata yang berbahaya. Karena jasa-jasa kepahlawanannya dalam membela tanah air, mereka menjadi figur yang selalu dikenang dan dihormati.


Daftar Bacaan

Alfian, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1981.

Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: Bulan Bintang, 1990

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, terj., Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004

A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994

C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995

Ismail Sofyan, dkk, (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintas Sejarah, Jayakarta: Jayakarta Agung Offset, Edisi Pertama, 1994

Kenneth W. Morgan, Islam Djalan Mutlak, terj., Djakarta: PT. Pembangunan Djakarta, 1963.

Moehammad Hoesin, Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas P&K, 1970.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, cet. II, Medan: Waspada, 1981

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005

Rusdi Sufi, dkk., Perhiasan Wanita Aceh dan Gayo, Banda Aceh: Departemen P & K, 1984.

Subadio Ulfah, dkk., (ed.), Peranan dan Kedudukan Wanita di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983

Uka Tjandrasasmita, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, Kudus: Menara Kudus, 2000.

Zentrgraaf, H.C. Atjeh, Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie, 1939

0 komentar: